Cinta di Horizon Baur

Riana sedang merapikan barang belanjaannya di dalam travel bag-nya ketika Yuli masuk ke kamarnya.

“Belum tidur, Yul?”

Yuli menggeleng. Duduk di bibir ranjang Riana. Di sana, dia duduk mematung sembari melepaskan pandangannya ke seorang ibu tua yang sudah mendengkur di ranjang sebelah. Seorang ibu lainnya, lebih muda, tampak kepayahan menenangkan anaknya yang rewel dan cengeng. Seluruhnya hanya ada empat penghuni di kamar Riana, dari delapan ranjang yang tersedia.

“Riana….”

“Apa?” Riana memasukkan belanjaan terakhirnya. Dia bertanya tanpa mengangat muka.

“Rio….”

“Dia baik, kan?”

Yuli menghempaskan napasnya keras. Diambilnya bantal di ujung ranjang. Dipeluknya kemudian.

“Riana, aku pingin bicara.”

“Silakan. Tidak dipungut bayaran, kok.” Riana bangkit dari berjongkok di depan locker-nya.

“Tapi, tidak di sini,” tukas Yuli cepat.

Riana mendekat dengan dahi yang mengerut. “Ada apa sih, Yul? Kayaknya penting-penting amat?”

Yuli mengajak Riana keluar ke dek tujuh. Tempat dimana biasanya mereka bertemu. Sebetulnya Riana enggan. Sebab hari sudah sudah larut malam. Di koridor-koridor kapal sudah tidak apa siapa-siapa lagi selain penumpang kelas ekonomi yang terpulas di lantai. Namun diikutinya usul Yuli mengingat perbincangan mereka nanti mungkin dapat mengganggu istirahat penumpang lain di kamar.

“Riana….”

“Kok, kamu jadi aneh begitu sih, Yul?” Riana mulai tidak sabaran. Lagian, dia lupa mengenakan jaket lantaran keburu diseret sama Yuli.

“Sampai sejauh mana hubunganmu dengan cowok itu, Riana?” Yuli langsung ke pokok persoalan.

Alis Riana bertaut. “Maksudmu…?”

“Jangan pura-pura….”

“Pura-pura bagaimana?!”

“Aku kasihan sama Bram! Dia….”

“Kamu….”

“Habis manis sepah dibuang.”

“Ka-kamu… kamu nyebelin, Yul!”

Yuli memalingkan mukanya. Bahunya bergetar. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka Riana begitu mudahnya terpikat oleh pesona Rio. Memang, jujur diakuinya kalau Rio jauh lebih tampan ketimbang Bram, kakak sepupunya.

“Sia-sia saja pengorbanannya selama ini,” ujar Yuli, membuka pembicaraan setelah mereka terdiam beberapa saat lamanya tadi. Dia merasa bersalah karena memiliki andil yang tidak sedikit dalam hubungan kedua insan tersebut. Dialah yang berinisiatif mengenalkan Bram pada Andi Mariana Rosanti Petta Padjalangi.

Riana tersinggung. “Oo, aku tahu, kamu ternyata ada hati sama Rio. Lalu….”

“Aku tidak segampang seperti sangkamu!” Yuli memintas gusar.

Riana mendengus. Matanya memerah. “Salahkah aku kalau….”

“Kamu tidak salah,” Yuli kembali memintas. “Tidak salah, dan berhak memadu cinta dengan siapa saja.” Diteguknya ludahnya sedetik. “Tapi, Bram terlalu baik untuk kamu sakiti!”

Riana mengusap wajahnya. Dia tahu, kalau dia bersalah, itu karena selama ini dia membiarkan sebentuk rasa tumbuh di hatinya. Tapi, dengan begitu, paling tidak dia sudah jujur pada dirinya sendiri. Tidak membohongi perasaannya. Tidak dapat menutupi perasaannya kalau getar cinta Bram sudah tidak berdenting lagi di hatinya. Bayang Bram memudar dan berganti dengan seraut wajah yang lebih mempesona. Hatinya tak dapat berdusta. Meneguhkan bayang Bram, itu sama juga dengan menyiksa batinnya. Sungguh, dia tidak mampu!

“Memang, Rio lebih ganteng,” cerocos Yuli dengan bibir yang menyeringai.

Riana diam. Kepalanya terkulai lemah.

“Bodinya oke. Macho lagi,” timpal Yuli lagi. “Bram sih, tidak ada apa-apanya dibandingkan gacoan barumu itu. Bram sipit. Gemuk. Gembrot kayak panda….”

“Cu-cukup, Yul!” Riana menyergah. Airmatanya menitik. “Ja-jangan mengguruiku lagi!”

Yuli tertawa sinis. “Baik, baik. Aku akan berhenti mengguruimu. Tapi, camkan satu hal ini,” diangkatnya telunjuknya, nyaris menyentuh wajah Riana. “Bram datang kepadamu dengan kesetiaan! Dan dia pernah bersumpah kepadaku untuk tidak akan mengecewakan kamu.”

Dengan gerak gegas, Yuli pun berlalu dari hadapan Riana.

Airmata Riana menderas.

Comment