Cinta di Horizon Baur

Riana membersihkan lengannya dari butir-butir halus garam ketika dilihatnya ibu tua yang tinggal sekamar dengannya berjalan ke tepi pagar dek. Di tangannya terlihat sekuntum bunga melati.

“Selamat pagi, Bu,” sapa Riana ramah.

“Oh, Nak Riana. Pagi, pagi,” balas ibu tua itu, menyembulkan secuil senyum di akhir kalimatnya.

Riana mendekat. Ibu itu tengah menabur bunga melati tersebut ke laut. Ada keharuan yang tergambar jelas pada sepasang mata kelabunya.

Riana mengernyit. “Ibu sedang…?”

Wanita berambut kelabu itu menarik napas panjang-panjang. Dipejamkannya matanya sesaat. Bibirnya bergetar samar.

“Ini kebiasaan Ibu setiap kali berlayar melewati Laut Masalembo, Nak Riana,” jelas wanita tua itu sembari menyusut airmata yang menempel di sekitar pelupuk matanya.

“Untuk apa, Bu?” Riana bertanya. Dirapatkannya jaketnya. Lantas dia bersidekap tangan.

Wanita tua itu kembali menarik napas panjang-panjang. Dia berdeham sekali sebelum menjawab pertanyaan Riana.

“Dulu, dulu sekali, pada 27 Januari 1981, Kapal Tampomas II terbakar lantas tenggelam di Laut Masalembo ini,” katanya, mengedarkan matanya kemudian ke bawah, ke laut. “Waktu itu, suami Ibu serta seorang putra Ibu sedang berlayar dalam kapal tersebut….”

Wanita tua itu tersedak, menangis sesenggukan. Disusutnya kembali leleran airmatanya dengan punggung tangannya.

“Sampai sekarang Ibu tidak tahu bagaimana nasib suami dan anak sulung Ibu itu. Mereka belum diketemukan. Tapi kemungkinan besar mereka memang sudah meninggal tenggelam. Atau… tewas terbakar! Ah, entahlah. Yang pasti kejadian tragis itu makin membuat Ibu tafakur, dan percaya akan kekuasaan-Nya.”

“Mak-maksud Ibu?!”

“Tuhan itu Maha Penyayang, Nak Riana. Kejadian tragis di Laut Masalembo ini bukanlah malapetaka yang harus disesali. Itu bukan hukuman. Tapi, Ibu yakin itu merupakan suara rindu Tuhan buat kita. Tuhan menyayangi kita semua, umat-Nya. Bencana yang datang menimpa kita merupakan isyarat agar kita tidak alpa dari kebajikan. Agar kita sadar, dan tidak berpaling dari-Nya. Nah, Tuhan sudah menganugerahkan dan melimpahkan rahmat-Nya yang tak terkira, masakah kita tega berpaling?” urai wanita tua itu panjang-lebar. Kesedihan perlahan memudar dari wajahnya yang berkeriput. Dan dia tersenyum dengan sebaris giginya yang sudah mengeropos.

Riana seperti tersengat. Tubuhnya mengejang. Ada sesuatu yang menohok keras dadanya. Dia tersadar. Dan mendadak teringat Bram….

“… anggap saja jaket ini sebagai aku, yang setiap saat melindungi tubuhmu dari dingin.”

Kalimat Bram berdenyar di kepalanya. Hatinya giris. Betapa setianya cowok itu. Kasih sayangnya yang besar dan pengorbanannya yang tak terkira itu nyaris dikhianatinya hanya dalam tempo dua hari. Menerima cinta Rio, dan meruntuhkan dinding kesetiaan yang telah dibangun Bram selama dua tahun. Ah, begitu kejamkah dirinya?!

Mata Riana mengabur oleh airmata. Dadanya sesak. Kerongkongannya perih. Mumpung semuanya belum terlambat. Dia harus belajar membangun kesetiaan seperti yang dilakukan Bram.

Ya, dia bertekad untuk itu.

Comment