Mawar Tanpa Lara (Roses without Sadness)

Medio Agustus, 2003

Chao Phraya River, Bangkok

Gadis itu sertamerta ber-anjali (1) ketika berpapasan dengan seorang bikkhu (2) di tepi Sungai Chao Phraya. Sudah menjadi tradisi yang mendarah daging bila bertemu dengan kaum sangha (3) berjubah kuning. Mau tidak mau dia harus beradaptasi kalau tidak ingin dikatakan tidak tahu aturan.

Sudah tiga minggu dia di Bangkok, Thailand. Sebagai duta pelajar pertukaran remaja ASEAN, khususnya Indonesia-Thailand. Menjadi duta pelajar memang bukan hal yang gampang. Ada bekal hasil kerja keras dan belajar sungguh-sungguh yang melatarbelakangi kesuksesannya hingga dapat menyandang predikat membanggakan itu. Sebagai siswa teladan di sekolahnya, dia memang pantas meraih satu tiket keberhasilan. Mewakili para pelajar Indonesia ke Negeri Gajah Putih tersebut.

Selain belajar mengenal lebih dekat kebudayaan Thailand, Erika Merry Sianipar juga banyak mengunjungi situs-situs bersejarah di sana. Dan dia dibimbing langsung si Kembar Chatnapong bersaudara, Odija Sun Chatnapong dan Odina Sun Chatnapong. Kedua gadis itu sangat menyenangkan. Kemana-mana, kedua gadis kembar itu selalu menjadi guide-nya. Kadang-kadang pula mengajarinya menulis dan berbahasa Pali (4).

Meski kembar, tapi mereka bagai pinang dibelah seratus alias tidak pernah dapat kompakan. Seperti dua kutub yang berbeda. Odija feminin, kalem berambut panjang. Sementara Odina tomboi, dinamis berambut pendek. Bila jalan bareng, mereka selalu bertengkar seperti kucing dan tikus. Meskipun sering bertengkar namun sebenarnya mereka saling mengasihi.

“Kami tumbuh bareng di Brahma Magga.” Odija menjelaskan perihal masa kecilnya bersama Odina, menggebah kejenuhan menunggu barkas yang bakal merapat di dermaga.

“Brahma Magga?”

“Itu nama panti asuhan di Chiang Mai.”

“Jadi, kalian….”

“Kami ini anak yatim piatu, Erika.”

“Baru aku tahu, pantas….”

“Pantas kamu tidak pernah melihat orangtua kami, kan?”

“He-eh.”

“Mereka sudah meninggal sejak kami masih bayi. Kata Lung (5) Khakaor….”

“Siapa dia?”

“Kakek. Sejak ayah dan ibuku meninggal secara misterius di Cape Town, tinggal beliaulah satu-satunya keluarga sedarah kami. Setelah kurang lebih tiga tahun tinggal di panti asuhan, Lung Khakaor membawa kami ke Bangkok, memelihara dan menyekolahkan kami sampai sekarang di sini.”

“Orangtuamu meninggal secara misterius? Maksudmu…?”

Odija termangu. Ditelannya ludahnya yang memahit dengan susah payah. Dia belum menjawabi pertanyaan Erika. Matanya menerawang. Menatap punggung Odina yang menirus di bibir sungai. Menunggu barkas yang akan mereka tumpangi untuk menjelajahi keindahan Sungai Chao Phraya.

“Sebenarnya, aku tidak tahu pasti. Berita tentang kematian kedua orangtuaku itu simpang siur. Kata orang-orang kampungku di Chiang Mai, mereka meninggal lantaran kena teluh, disantet dan diguna-guna seseorang di Afrika karena prahara bisnis.”

“Prahara bisnis?”

“Ya. Orangtuaku merupakan eksportir, pemasok beras Thailand ke Afrika Selatan. Kata mereka lagi, ayah dan ibuku telah merebut pasar mereka di bidang agrobisnis sehingga rekanan bisnis mereka di Afrika Selatan itu dendam dan berniat menghabisi hidup orangtuaku itu.”

“Tapi, apakah kamu pernah melihat jasad mereka?”

“Kami masih terlalu kecil waktu itu. Tapi, kata orang-orang kampungku, jasad orangtuaku tidak pernah kembali lagi, dan kemungkinan besar memang sudah meninggal serta dikuburkan di sana.”

“Kamu tidak pernah mencari tahu?”

“Keseringan. Tapi, hasil pastinya selalu nihil. Namun, setahun lalu aku ngecek ke Kedubes Afrika Selatan di sini. Ada kabar terang….”

“Apa itu?”

“Katanya, Shongsak Sun Chatnapong dan Aun A Nong Swartwong, nama kedua orangtuaku, meninggal di Cape Town karena diserang penyakit misterius. Nama penyakitnya adalah river blindness atau onchocerciasis.”

“Aku baru mendengar nama penyakit begituan. Apa seperti SARS?”

“Bukan. Penyakit itu merupakan sejenis penyakit kebutaan dengan gejala awal mata gatal-gatal, luka, lalu cacat. Di Afrika, penyakit ini mulanya dijumpai di sekitar Gurun Sahara. Sekarang penyakit ini merebak dan telah merenggut banyak nyawa orang Afrika. Menurut mereka lagi, epidemi penyakit ini disebabkan  parasit yang dibawa lalat hitam yang hidup di sungai. Kotoran dari lalat hitam itu mengandung parasit dan tertinggal di tubuh manusia lewat gigitannya. Jadi, kasusnya mirip penyakit malaria yang disebarkan nyamuk di Asia, khususnya di Asia Tenggara.”

“Lalu, sebenarnya kematian orangtuamu yang mana?”

“Aku bimbang. Tapi, kamu tahu kan kalau di Thailand ini sendiri masih banyak terjadi hal-hal yang irasional.”

“Jadi, kamu lebih percaya kasus magis ketimbang kasus medis….”

“Bukannya begitu, Erika. Tapi… hei, kok kitanya jadi berkisah tentang dunia gaib dan dunia medikal begitu, sih? Padahal….”

“Padahal, kita ingin bersenang-senang di Chao Phraya!” Odina nyeletuk dari belakang, menyalib perbincangan mereka. “Dan barkasnya sudah menanti sedari tadi. Ayo, cepetan!”

Ketiga gadis itu berhamburan menuju barkas. Di dalam barkas, sudah tampak berjejal turis-turis asing yang ingin menikmati cerahnya pagi di Sungai Chao Phraya.

Comment