Mawar Tanpa Lara (Roses without Sadness)

Ritual pengkremasian jenasah diiringi dengan isak tangis Odija. Sudah berkali-kali gadis itu jatuh pingsan. Sementara, Lung Khakaor hanya memendam kesedihannya dengan menundukkan kepalanya. Bibirnya yang keriput bergetar. Sepasang mata kelabunya seolah tak bercahaya.

Kematian Odina yang tiba-tiba itu menghadirkan beragam kisah irasional di lingkungan sekolah.

“Dia pasti menjadi korban dari Manohra!”

Seperti naga di Tiongkok, Manohra merupakan makhluk aneh dalam mitologi masyarakat Siam. Tubuhnya merupakan perpaduan separuh burung dan separuh perempuan. Manohra dipercayai pula sebagai ‘penunggu’ di kebanyakan tempat seperti sungai di Thailand.

Odina menjadi salah satu korbannya karena gadis itu berwajah dua, kembar. Artinya, salah satu dari mereka harus menjadi tumbal karena Manohra sendiri sebenarnya mempunyai dua jiwa dalam satu raga.

Namun Erika menggebah semuanya itu sebagai takdir, ajal yang mesti diterima sebagai bagian dari kehidupan manusia. Itu adalah insiden. Murni kecelakaan yang bisa menimpa siapa saja termasuk dirinya sendiri. Bukan karena legenda yang sudah merakyat itu!

Odija terobsesi dengan legenda itu. Dia sangat sedih sehingga obsesi itu menjelma menjadi mimpi-mimpi, yang sudah beberapa hari ini mengganggu tidur malamnya.

“Lagunya indah sekali.”

“Kamu perlu banyak istirahat, Odija.”

“Dia mengenakan gaun kerajaan. Di sekelilingya tampak teratai-teratai….”

“Sudahlah….”

“Wajahnya berseri-seri, Erika. Dia terus tersenyum. Teduh sekali.”

“Odija!”

“Di istana Bang Pa In (7), setelah berdendang dan melantunkan syair seperti biasa, dia melambaikan tangan ke arahku. Dengan lembut dia mengatakan sesuatu padaku.”

“Odija, kamu jangan….”

“Wanita itu bilang, aku harus mencari setangkai mawar dari kebun sebuah keluarga yang tidak pernah mengalami kematian pada anggota keluarganya, Erika.”

“Tapi, mana ada….”

“Namanya, ‘mawar tanpa lara’!”

“Un-untuk apa?”

“Wanita itu bilang, kalau aku berhasil memperoleh bunga ‘mawar tanpa lara’ itu maka aku dapat menghidupkan….”

“Astaga, Odija! Istigfar kamu! Itu cuma mimpi!”

“Ta-tapi….”

Erika menggeleng. Odija menceritakan semua mimpi-mimpinya tersebut kepadanya. Namun dia menganggap bahwa hal itu merupakan halusinasi akibat kesedihan yang tak terhankan. Gadis itu depresi sehingga mengkhayalkan hal yang bukan-bukan. Maka terciptalah tokoh wanita sang biduan dari masa lalu di sebuah istana raja. Yang mengusulkan untuk mencari ‘mawar tanpa lara’ sebagai penawar kematian Odina.

“Wanita itu nyata, Erika!”

“Kamu stres, Odija. Itu gejala paranoid. Kamu jangan pikir macam-macam lagi, please!”

“Ta-tapi, Odina mesti….”

“Dia sudah beristirahat dengan tenang!”

“Ak-aku benar-benar sesebatang kara sekarang!”

“Tidak. Kamu masih memiliki banyak sahabat. Semua itu juga merupakan saudara kamu.”

“Tapi….”

“Aku akan selalu menemani kamu, Odija.”

“Dulu, ayah dan ibuku! Se-sekarang… Odina!”

“Lupakan masa lalu. Jangan….”

“Manohra….”

“Itu cuma legenda!”

“Ta-tapi, mawar-mawar itu….”

“Sudahlah, Odija.”

“Tolong aku, Erika. Aku capek. Aku tidak pernah dapat menemukan ‘mawar tanpa lara’ itu!”

“Kamu….”

“Semua keluarga yang aku kunjungi dalam mimpi-mimpiku itu, tidak ada satu pun yang tidak pernah kehilangan keluarga maupun kerabat mereka. Semuanya tidak luput dari rangkaian kematian. Semuanya….”

Odija kembali sesenggukan. Erika memeluknya. Membelai rambutnya yang mayang seperti biasa.

Comment