Mawar Tanpa Lara (Roses without Sadness)

Mawar Tanpa Lara (Roses without Sadness)
Oleh Effendy Wongso

PROLOG

Ada suara sitar yang terdengar mengalun perlahan. Samar pula didengarnya suara sang biduan tengah melantunkan elegi. Sebuah syair ratapan tentang lara….

Angin tak pernah membawa berita
Tentang sekawanan kesatria berkuda

Hanya ada tapak-tapak kecil menggelinjang
Berderap-derap ditabuhi irama rebana
Dengan gemerincing sitar-sitar selaksana pedangnya

Setangkai mawar berkisah
Tentang semerbaknya jiwa-jiwa yang hilang
Melayang entah kemana
Berkelana melanglang buana

Dewiku yang Agung telah tertidur
Ini aubade tentang surga
Ketika tetes lara dari sepasang mata menjadi bulir permata
Cerita tak akan pernah mati

“Ja-jangan pergi, Odina!”

Odija terjaga. Ini adalah malam ketiga dia bermimpi tentang wanita biduan dari masa lalu. Dari masa lalu, sebab semuanya terasa asing dan lawas. Dan dia seolah terseret ke dalam pusaran waktu, menghadirkan serangkaian kisah kasatmata yang dia sendiri tidak mengerti.

Dihapusnya keringat yang menitik di dahi. Dinyalakannya lampu meja dengan sekali sentuh. Suasana kamar sepi, jendela masih terbuka. Di luar sana, angin bertiup sayup. Tiga dini hari mulai menyebarkan kabut. Kaca jendelanya dihinggapi embun. Dia menggigil sembari memeluk lutut.

Digigitnya bibir. Matanya masih memejam, berusaha mengingat-ingat jalinan kisah dalam mimpinya tersebut. Wanita itu begitu anggun. Setiap saat memeluk sitarnya dengan sikap gemulai.

“Odija Sun Chatnapong….”

Ada suara serupa desis yang menggugah lamunannya. Dia berpaling. Erika tengah berdiri di bawah bingkai pintu. Menatapnya dengan rupa cemas. Lalu gadis itu mendekat dengan langkah jinjit. Duduk di gigir ranjang. Membelai rambut mayangnya.

“Sudahlah….”

Odija masih mematung. Airmatanya mulai menitik. Tubuhnya gemetar. Dipereratnya dekapan pada lutut. Entah harus berbuat apa.

“Aku dengar jeritanmu. Kamu mimpi buruk lagi?”

“Wanita itu….”

“Cuma bunga tidur. Kamu terlalu terobsesi dengan….”

“Ta-tapi Odina tidak seharusnya….”

“Ikhlaskan dia, Odija!”

“Belum saatnya dia….”

“Aku tahu. Tapi….”

“Dia masih terlalu muda.”

“Ya, ya. Tapi, semua itu sudah ajal.”

“Odina….”

Erika menggeleng. Gadis itu belum tawakal menerima kenyataan pahit itu. Kematian saudara kembarnya telah memasungnya dalam lara tak berujung. Malam-malamnya bersenandungkan tangis.

Kehilangan itu demikian menyakitkan!

Comment