Salju di Hatiku (From Seoul with Love)

“Hei, what do you think about my new album?”

“Bagus. Lebih akustik. Saya suka lagu ‘Snow In My Heart’.”

“Bingo!” Hyung menjentikkan jarinya. “Saya juga suka lagu itu meski bukan lagu yang menjadi best cuts di album ‘Panggayo’.”

“Oya? Kok bisa sama, ya? Rupanya selera kita tidak jauh berbeda.”

“Right! Eh, lagu itu asyik sebetulnya. Syairnya menyentuh lho, Ron.”

“Hm, I think you have a special memory with that song. Lagu ciptaan kamu itu sangat menyentuh emosi hati. Seperti elegi! Apa sih maknanya, Hyung?”

Kim Yong Hyung mengusap wajah. Saya tangkap ada dua binar yang menggantung di sudut matanya. Sekilas. Secepat kilat digebahnya gambaran durja itu dengan menguraikan simpul di bibirnya membentuk senyum.

“Bukan kisah yang istimewa. Hanya bertema klasik. Biasa, cinta dua anak manusia yang terpenggal karena ironi. Makanya, lagu itu saya kasih judul ‘Snow In My Heart’. Suasana kisahnya sedingin salju.”

“Pengalaman hati?”

Kim Yong Hyung mengangguk. Sebuah jawaban yang jujur dituturkannya dalam bahasa gerak itu memang tidak memerlukan kalimat lagi. Saya menelan ludah dengan susah payah.

“Siapa?!”

“Namanya Takeshi Hinagata. Model asal Jepang.”

“Pasti dia orang paling istimewa dalam hatimu!”

“Boleh dibilang begitu, karena setahun lalu dia sudah bermaksud bertunangan dengan saya. Heh, itu merupakan momen prematur seandainya jadi, ya?”

“Trus, kenapa….”

“Orangtua saya tidak menyetujui hubungan kami tersebut!”

“Alasannya apa?!”

“Sepele. Kebanyakan orang tua Korea masih trauma dan dendam atas pendudukan serta kekejaman Jepang terhadap bangsa Korea pada Perang Dunia kedua, puluhan tahun yang lalu!”

“Bah!”

Saya terbahak. Lucu mendengar dalih atas lantaknya dua hati itu. Lebih parah ketimbang kisah mirisnya Siti Nurbaya!

“Saya tidak mengerti kenapa masih ada orangtua yang kolokan begitu, Ron. Makanya, daripada menyimpan kesedihan mendalam, saya kompensasikan semuanya itu dalam kegiatan positif saya yang seabrek. Saya ingin melupakan kenangan pahit itu, Ron.”

“Jadi, bagaimana dong dengan Takeshi?”

“Mungkin kami tidak sejodoh. Sudahlah, sekarang dia hanya menjadi stori masa lalu, Ron.”

“So, kamu belum dapat pengganti Takeshi?”

“Hei, kamu pikir gampang apa mendapat orang yang benar-benar dapat dicintai setulus hati?! Kalau sekadar just for fun sih banyak. Tinggal comot satu fans cowok saja, beres deh persoalan.”

“Iya, sih. Tapi….”

“Tapi apa?”

“Kamu tidak menutup hati rapat-rapat, kan? Maksudku….”

“Kecewa dengan yang namanya cinta?”

Saya mengangguk.

“Tentu saja tidak. Memangnya kenapa?”

“Biasanya gadis yang sakit hati gara-gara cowok akan menyimpan trauma sampai seumur hidupnya.”

“Hei, memangnya aku picik begitu? Kalau aku begitu, yang namanya Ronny Panggabean pasti tidak bakal berada di seberang meja ini. Berhadapan dengan saya, duduk makan semeja di Borders!”

Saya terbahak. Tiba-tiba merasa memiliki kekuatan dan keberanian untuk menjalin benang merah lebih dari sekadar persahabatan. Saya memang mesti bersikap jujur dengan suara hati saya sendiri. Saya tidak ingin kehilangan momen yang datangnya mungkin sekali dalam seumur hidup ini. Saya tidak ingin melewatkan dan menyia-nyiakan waktu seperti dulu lagi. Sepertinya saya sudah lebih siap, mantap untuk memaparkan isi hati yang belum terungkap sekian tahun.

Malam menangkup di Orchard Road. Rasanya waktu berlalu secepat meteor. Saya ingin terus bersamanya. Membantu menyaput hari-harinya yang kelabu.

Catatan:

Cerpen pernah dimuat di Tabloid Gaul, Jakarta pada 2006 dengan judul Snow in My Heart

Comment