Tatiana, Dimensi Lain Sang Waktu

“Kakak kok diam, sih?”

“Ah, nggak kok!”

“Kakak juga pakai topi?”

Tatiana mengangguk. “Iya, tapi bukan topi seperti punya Hani. Topi Kak Tatiana ini lain. Seperti rambut. Namanya wig.”

“Wig?”

“He-eh,” angguk Tatiana, lalu menggeraikan sebagian rambutnya ke depan. “Ini. Jadi wig ini adalah rambut palsu.”

“Hah?” Bocah perempuan itu ternganga. “Kalau begitu, Kakak nggak pernah diledekin botak, dong?”

“Nggak pernah. Karena wig ini menutupi kepala Kakak yang gundul.”

“Kalau begitu, Hani boleh juga dong pakai wig!”

“Boleh. Tapi, nanti ya kalau Hani sudah besar dan dewasa.”

“Ta-tapi….” Bocah perempuan itu memberengut. “Hani mau pakai sekarang! Hani nggak mau tunggu sampai dewasa. Kalau dewasa, kepala Hani yang botak sudah ditumbuhi rambut. Jadinya percuma!”

Tatiana mengusap wajah. Ia tercenung mendengar kalimat lugu bocah perempuan itu. Ada pengharapan dan semangat hidup yang terpancar dari sana, meski sebenarnya Sang Waktu hanya menyisakan hembusan-hembusan napas yang kian hari memendek bagi mereka.

Dibukanya lembaran silam masa lalu dalam ingatannya. Ia seperti tidak pernah lepas dari prahara. Setelah Mama meninggal dalam sebuah insiden tabrak lari tiga tahun lalu, satu tahun kemudian setelah kejadian tragis itu, ia kembali dihadapkan pada kenyataan getir. Kanker in situ pada otaknya yang divonis dokter setelah beberapa kali terkulai pingsan di kelas, baginya tidak lebih dari kiamat. Dunianya sudah hancur!

Dari hari ke hari kankernya menjalar dan mengganas. Lalu serangkaian kemoterapi pun dijalaninya. Mengorbankan mahkota di kepalanya. Dari menipis, rontok, hingga plontos sama sekali. Ia pasrah. Tidak ada gairah untuk melanjutkan hidupnya lagi. Kadang-kadang setelah menguras seluruh airmatanya, ia berpikir untuk bertindak irasional. Menghabisi nyawanya sendiri!

Namun, ajal yang diinginkan rupanya belum menjemput. Takdir belum menghendaki ia berbuat begitu. Berkali-kali ia gagal melakukan niatnya yang babur jika mengingat betapa hancurnya hati Papa bila putri tunggalnya pun pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya!

Karenanya, diurungkannya niatnya itu. Dan lebih memilih menjalani sisa hari-harinya dengan lelaki baik hati yang telah diakrabinya bahkan sejak bayi. Tumbuh bersamanya, menjalani rangkaian hidup yang terasa sangat menyiksa dan melelahkan.

Ia berusaha bersikap tabah. Namun tak urung rasa gentar menggerogoti hatinya. Dimensi lain dari Sang Waktu demikian menakutkannya. Dinantinya ajal menjemput dengan sejumput ragu. Ia ingin memberontak. Ia ingin terbebas dari kekangan derita yang sudah hadir dalam kehidupannya sejak kehilangan Mama tiga tahun yang lalu.

Ia ingin menghentikan semua itu. Karena ia gamang. Takut terhadap dimensi lain dari Sang Waktu yang sudah mendekat. Yang akan memendekkan perjalanan usianya.

Entah kapan.

Comment