Bau

Foto: Effendy Wongso

“Diaz sudah pergi, Dizka,” Jay menepuk-nepuk punggung tanganku, “tapi kamu masih ada. Di sana bedanya. Yang tinggal sekarang adalah perasaanmu. Maka mulailah berpikir dengan logika. Bagaimanapun juga, asal bau itu harus diselidiki.”

Tekad Jay membangkitkan semangatku. Dua hari lagi malam Jumat Kliwon. Hanya ibu, orang rumah yang kuberi tahu rencana ini. Nyatanya, tanggapan ibu sungguh di luar dugaan! Ibu memelukku erat, terisak-isak seraya membisikkan sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih kencang.

“Tetapi untuk apa semua itu, Bu?” Kulepas pelukan ibu pelan-pelan, memandang wajah tuanya, mencari jawaban. Aku tidak mengerti. Mengapa hanya karena mendengar celoteh para ibu di perkumpulan arisan kompleks, ibu jadi terpengaruh untuk membuat sesajen atau membeli bunga aneka warna untuk diletakkan di tempat Diaz tabrakan?”

“Tolonglah ibu, Diz,” Ibu menyusut matanya dengan jari-jari gemetar. “Mereka mengatakan Ibu kurang doa-doa.”

“Kita beragama, Bu.”

“Kalau kita tidak membuat sesajen ini, mereka akan menjauhi kita, mengucilkan kita. Mereka meminta Ibu, agar Diaz tenang, agar mereka tenang.”

Aku tertunduk. Permintaan Ibu sungguh berat untuk dilukiskan. Kulihat mata Ibu menatap penuh pengharapan.

“Ibu percaya, kalau Diaz yang jadi hantu?” Aku tak kuasa menahan tangis. “Diaz anak Ibu yang terbaik, Bu. Dia dipanggil lebih cepat dari kita semua, karena Tuhan sayang padanya. Ibu yakin kalau bau itu, adalah… dari anak Ibu?”

Sampai di sini napasku terasa sesak. Ibu memagutku kuat-kuat dengan tubuh menggigil. Sesaat kami tidak tahu harus mengatakan apa.

“Nak,” Ibu menatapku dengan wajah pasrah. “Maafkan Ibu. Ibu tidak yakin, juga tidak percaya seperti sangkamu. Tetapi kadangkala di dunia ada sesuatu yang tidak kita yakini tetapi ternyata harus kita percaya, bahwa itu ada. Kau mengerti maksud Ibu?”

Aku terdiam. Dan malam ini, ketika Jay datang menjemput, kuterima tas plastik yang ibu sodorkan berisi tujuh kembang serta sejumlah dupa yang nantinya harus dibakar. Selain itu, Ibu membekaliku dengan doa-doa yang harus kubaca seraya membakar dupa. Entah dari mana datangnya doa-doa semacam itu, aku tidak tahu. Yang jelas, secarik kertas berisi mantra itu kini berada bersama-sama peralatan lainnya dalam tas plastik yang kubawa.

Jay tersenyum ke arahku sesaat setelah pamit kepada Ibu yang mengantar sampai depan pintu. Tetapi senyumnya seketika hilang.

“Wajahmu pucat sekali, Dizka,” katanya hati-hati. Digenggamnya tanganku seolah menyalurkan kekuatan. Aku hanya menggumam pelan setelah melihat ke arah tangan kiriku. Jay ikut-ikutan memandang ke sana dan segera menemukan apa yang menjadi beban pikiranku.

“Aku tidak tahu harus menyarankan apa. Aku sendiri juga masih belum percaya,” bisiknya lirih.

Kami tiba di ujung jalan pukul dua belas kurang seperempat, tengah malam.

Angin malam menyelusup dingin dari sela-sela jaket yang kurapatkan. Hanya satu dua mobol yang lewat di sana. Jay mengeluarkan senter dan menyorot ke sana kemari. Lampu neon di jalan sedikit membantu penghlihatan. Kami memutuskan untuk tegak berdiri bersandarkan dinding beton jalan layang sambil menunggu tepat tengah malam. Sementara itu, kelap-kelip lampu dari bawah, dari arah kompleks dan gedung lain menambah semarak. Kuning, hijau, merah, saling berpadu. Beginilah kehidupan di kota besar. Pada saat segala kegiatan terhenti, suasananya tak pernah tidur.

Comment