Bau

Foto: Effendy Wongso

Jay mengangkat tangannya, menunjuk sesuatu. Sebuah daerah gelap di seberang lapangan bola, nyaris terlepas dari pandangan kami. Sungguh beda dengan daerah sekitarnya yang didominasi gerak lampu aneka warna.

“Perkampungan kumuh,” kata Jay lambat. “Konon pembuatan jalan ini terjadi di daerah mereka, sehingga mereka pindah ke sana.”

Mataku menyipit. Rumah tanpa lampu, entah dari tikar atau kertas koran, dari kejauhan tampak bergerak-gerak.

“Mereka digusur?”

“Kurasa tidak, Diz. Biasanya mereka mendapat ganti rugi. Entah kenapa, kehidupan mereka tetap begitu saja. Mereka yang tidak mau berusaha atau bagaimana, aku tidak tahu.” Mendadak Jay tertawa lirih. Aku melihatnya heran. Bagaimana dia bisa tertawa setelah menerangkan sesuatu yang kontradiktif dengan kehidupan kami, yang membuat batinku tersentuh?

“Mungkin, salah seorang dari mereka ada yang bunuh diri di tempat ini. Siapa tahu tempat ini dulu merupakan tempat dia kencan dengan ceweknya yang sudah lama meninggal….”

“Jay!”

Tawanya terhenti. Jay menatapku dengan mulut terkatup. Kami sama-sama disentakkan pada tujuan semula, sama-sama mengangkat lengan kanan melihat jam. Masih kurang lima menit lagi mencapai tengah malam. Angin malam berembus kian menusuk. Kutinggikan kerah jaket, dan sat bersamaan ada yang berdesir di tengkukku. Kutahan napas sejenak. Apakah kini aku telah menjadi seorang pengecut, sehingga bulu kudukku terasa berdiri? Atau, ada sesuatu di sekitar kami? Kutajamkan penciuman. Mereka mengatakan, bau itu sangat sengit. Mirip dengan bau mayat yang diberi formalin. Cuping hidungku bergerak, mengendus-endus. Aku belum mencium apa-apa!

Pukul dua belas tepat. Kami masih tegak bersandarkan dinding beton jalan. Jay menyentuhku. “Titipan Ibumu, Diz, bagaimana?”

Tanganku bergerak kaku mengeluarkan barang-barang itu dari dalam tas plastik. Kembang tujuh warna, air bersih, tiga batang dupa, sekotak korek api dan….

“Dizka!” Jay tidak mampu menahan keterkejutannya ketika melihat tubuhku berputar cepat membuang semua yang berada dalam tanganku, ke bawah. Kembang-kembang itu melayang-layang diterbangkan angin, dan dupa itu sudah dari tadi meluncur ke bawah. Kutatap semuanya dengan pandangan jauh. Angin malam kini mendesau berirama di telingaku. Sesaat, kami saling berpandangan. Waktu masih berjalan dan malam semakin sunyi.

“Jay, Diaz sudah tenang di sisi-Nya. Dia tidak ada di sini, dia tidak ada di mana-mana. Mereka semua bohong! Pengecut! Penakut!”

Tanpa bicara Jay mengulurkan lengannya, menarik bahuku. Kami melangkah bersama, meninggalkan jalan layang yang panjang dengan puluhan neon di belakang.

Comment