Bau

Foto: Effendy Wongso

Jay menghampiriku di kantin dengan wajah berseri. Kupikir ada sesuatu yang hendak dia katakan. Gerak tanganku mengaduk-aduk segelas es avokad di depan seketika terhenti mendengar berita yang dia bawa.

“Mereka tidak pernah memberitahu, pukul berapa saja bau itu tercium, apakah saat itu kaca mobil mereka terbuka, atau berapa kali dalam seminggu bau itu tercium. Tetapi yang paling utama, Dizka, mereka adalah orang-orang yang tak pernah tahu membedakan bau mayat dan bau dari pabrik tapioka yang kegiatannya baru berhenti pukul sepuluh malam.”

Aku ternganga. Pabrik tapioka? Itukah kuncinya? Pabrik itu hanya beberapa kilometer dari jalan layang, tetapi jauh di seberang komplek kami. Dan malam itu, kami berdiri membelakanginya. Tentu saja bau itu tidak tercium. Bukankah menurut informasi yang diterima Jay, kegiatan pabrik hanya berlangsung hingga pukul sepuluh malam?

Keningku mengerut. Jay segera mengambil tanganku.

“Masih banyak hal yang perlu kita pikirkan, Dizka. Bukan hanya cerita-cerita penuh bumbu penyedap sejenis itu.”

Aku termangu sejenak, lantas tertunduk tanpa berkata apa-apa. Dadaku sesak. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan kepadanya, yang tidak bisa lagi kutahan ketika Jay mendesak.

Cerita tentang Diaz tidak pernah berhenti. Cerita itu kini semakin berkembang, justru setelah kepergian kami ke ujung jalan beberapa malam lalu. Kini, mereka malah berusaha meyakinkan, ada yang melihat Diaz berdiri, bersandar di dinding beton jalan, berdua dengan seorang gadis dengan kaki tak menapak di tanah!

Jay menatapku kuyu. Kami sama-sama tahu siapa yang dibicarakan orang-orang itu. Tetapi cerita telah terlanjur tersebar!

“Kasihan Ayah, Ibu, dan adik-adik,” desisku pelan. Di hadapanku, Jay masih mematung. Akhirnya napasnya kudengar mengempas keras. Direnggutnya tanganku tiba-tiba.

“Aku sedih, Dizka,” matanya memerah. “Aku tidak mengerti, mengapa ini harus terjadi terhadap keluarga kalian?”

Sungguh, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Bagaimana kami harus bicara mengenai hal yang sebenarnya? Bagaimana kami harus menjelaskan asal bau itu, siapa yang berdiri di ujung jalan tepat tengah malam ketika kami berada di sana? Ataukah, manusia sekarang telah terlampau tipis keimanannya?

Biodata Penulis:

Aan Almaidah Anwar, lahir di Bogor 27 Juli 1968. Alumni IPB Bogor ini merupakan salah satu pengarang berkarakter kuat. Langganan jawara di berbagai ajang lomba kepenulisan seperti Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Anita Cemerlang dan Sayembara Mengarang Cerpen Gadis. Wanita berbintang Leo ini sangat produktif menelurkan karya sastra. Salah satu antologi puisinya ‘Rindu Anak Mendulang Kasih’ diterbitkan Balai Pustaka dan dijadikan bahan kurikulum untuk bahasa Indonesia. Cerpen ‘Bau’ ini merupakan karyanya yang berhasil meraih Juara Kedua di Sayembara Mengarang Cerpen Gadis 1990 (tak ada pemenang pertama). Cucu perempuan begawan sastra Indonesia, Rosihan Anwar ini adalah salah satu pengarang andal untuk karya tema sastra selain Kurnia Effendi, Benny Ramdhani (Bandung), Dharmawati TST (Jakarta), Pangerang EM (Parepare), dan Rahmat Taufik RT (Bone).

Comment