Bau

Foto: Effendy Wongso

Bau
Oleh Aan Almaidah Anwar

MEDIAWARTA.COM – Berita itu menyulut perlahan-lahan bagaikan petasan yang disundut, dan meledak tepat di telingaku ketika Sari, gadis manis di rumah sebelah, membisikkannya setelah menghabiskan sekian menit untuk berpikir.

“Ken yang pertama kali mencium.” Wajah Sari memucat ketika dia kupaksa bercerita. Alisnya terangkat, mengingat-ingat. Ada rasa segan dalam suaranya. “Pada awalnya, kupikir Ken mengada-ada. Semua orang tahu, Ken termasuk teman dekat Diaz. Mungkin dia masih belum bisa melupakan persahabatan mereka. Tetapi ketika akhirnya aku sendiri mengalami….”

Tubuhku meremang, walau sekuat tenaga kucoba untuk tidak mempercayai hal-hal di luar rasio seperti itu.

Tanah kubur Diaz memang masih basah. Kepergiannya belum lagi genap empat puluh hari. Dan air mata keluarga kami masih belum kering. Tetapi berita itu sudah terlanjur menyebar. Penghuni kompleks bagaikan berlomba membisikiku. Bukan hanya Sari dan Ken, pacarnya, tetapi juga Bu Romlah yang punya warung nasi di ujung jalan, Hadi yang anaknya Pak Lurah, bahkan sampai pemuda-pemuda pengangguran yang sering nongkrong di gardu ronda, yang tadinya tidak pernah berhubungan langsung dengan Diaz!

Semua membisikkan hal yang sama. Bahwa beberapa hari setelah Diaz pergi, menyebar bau sengit di jalan layang dekat kompleks yang baru diresmikan setengah tahun lalu, tempat di mana Diaz diketemukan tewas seketika karena kecelakaan.

Sungguh, hal ini merupakan pukulan berat bagi kami sekeluarga. Ibu sampai tidak berani melewati jalan layang itu jika tidak penting benar. Ayah sering termenung di depan rumah. Deki dan Bram lebih memilih naik bis kota ke mana-mana dengan alasan tidak ingin lewat tempat tersebut. Mendadak kami semua menjadi pengecut! Kadang-kadang aku berpikir, apakah benar Diaz mengeluarkan bau sengit di ujung jalan itu? Apakah harus semua manusia yang mati basah menjadi arwah penasaran? Bukankah suatu kematian yang tidak disengaja tetap merupakan garis hidup manusia?

“Kalau ingin membuktikan, pergilah ke tempat itu, Diz. Dua hari lagi tepat malam Jumat Kliwon, seperti yang mereka katakan, malam di mana bau semakin menusuk,” Jay menghentikan lamunanku.

Perlahan, kutatap matanya. Dia memandangku lekat. Sejak Diaz pergi, hanya Jay satu-satunya yang kupercaya. Dia sahabat Diaz dalam segala suasana. Anehnya, di saat  Diaz masih ada dahulu kami justru tidak terlalu akrab.

Melihat aku tetap diam, Jay menyentuh lenganku halus. “Aku berjanji akan menemanimu, Diz, jangan takut,” hiburnya lembut.

Detik itu juga tangisku memecah. Aku tidak kuat mendengar berita itu kian menyebar dari mulut ke mulut. Di depanku, Jay membisu dengan mata merah. Dia tidak berusaha untuk menenangkanku, atau merengkuhku, tetapi genggamannya pada tanganku semakin kuat. Aku tahu, itu lebih dari sekadar apa yang ingin dia ucapkan.

“Aku sakit hati,” bisikku terputus. “Diaz saudaraku yang terdekat. Aku lahir beberapa menit setelah dia. Perasaan kami sama, Jay! Dan, sekarang? Kalau Diaz jadi hantu… aku ini apa?!”

Comment