Bidadari dari Langit

Foto: Effendy Wongso, Model: Iin Mutmainah

Bidadari dari Langit
Oleh Effendy Wongso

Jakarta, 1993

MEDIAWARTA.COM – Bidadari dalam imaji Zaldi tergambar sebagai sosok anggun, cantik, dan murah senyum. Biasanya berbusana putih-kemilau sewarna salju. Terkadang ia hadir pada saat yang terduga. Pada saat orang-orang terlelap dan tak menyadari kehadirannya. Itulah gambaran Zaldi tentang sosok halus berbentuk wanita cantik yang hidup di alam maya.

Tapi setelah menyadari ketololannya, Zaldi akhirnya menderaikan tawa. Ah, betapa terbuainya aku pada dongeng yang sering dibacakan Mama sebelum aku bobo, kenangnya geli.

Pikirannya kembali menelusuri lorong masa kanak-kanak. Semasa ia berusia tiga-empat tahun mungkin, tebaknya menduga-duga. Ya-ya. Ia ingat, kala itu Mama rutin tiap malam menuntunnya ke kamar yang dipenuhi aneka permainan. Di lengan Mama telah terkepit sebuah album dongeng yang bergambar warna-warni. Bagus dan indah kelihatannya. Ia pun ditidurkan di ranjangnya yang mungil di sana. Lalu Mama mulai membacakan cerita dari album dongeng tersebut. Tentang para bidadari yang baik hati, yang selalu menolong kaum papa. Dan, ia amat senang serta terkesan mendengarkan dongeng yang dibacakan Mama dengan mimik serius. Hm, masa kecil yang menyenangkan, gumamnnya tak sadar.

Bruukkk!

Sontak lamunannya yang berkelana ke belahan masa silam itu tergugah. Buyar seketika. Dan menghambur ke awang-awang! Refleks ia menurunkan wajahnya yang sedari tadi mendongak menerawangi eternit langit-langit di ruang perpustakaan. Sebentuk bidadari lain berdiri tegak di hadapannya tengah berkacak pinggang. Bibirnya yang padat dan berisi itu merapat. Membentuk garis manyun yang aduhai judesnya. Wajahnya yang sesungguhnya imut-imut, kini jadi amit-amit di mata Zaldi.

“Hei-hei,” dikibas-kibaskannya tangannya yang bergelang arloji mungil itu di muka hidung Zaldi. “Ngelamunin siapa sih, Tuan Muda?”

Zaldi menguraikan senyum. Bidadari kasatmata yang satu ini memang begitu! Lincah, periang, dan nakal. Kerjanya suka usilin orang lain, tapi ia ngegemesin!

What?!

Hei-hei? Apa kataku tadi? Ah-ah! Sesegera mungkin ditepisnya pikiran yang melintas seenaknya di benaknya tadi. Pura-pura ia menelungkupkan wajahnya yang tirus-lancip di lembar-lembar tebal ‘Teori Kesusastraan’-nya Rene Wellek dan Austin Warren. Dibolak-balinya per lembar tanpa sempat dibacanya.

Diintipnya diam-diam dari balik beling bening kacamatanya. Bidadari berwajah semanis gula itu tengah menatapnya lumat dengan masih mengikutsertakan katupan bibir yang serupa dipres. Tak lama kemudian, dilihatnya pula bidadari itu menyusun dan mengumpulkan kembali buku-buku roman pujangga baru yang diempaskannya sendiri tadi di atas meja, di depan Zaldi.

Zaldi tak juga bergeming, meskipun gadis bak bidadari itu mengentak-entakkan buku-buku dengan suara yang cukup gaduh. Maksudnya sih, ingin menarik perhatian Zaldi yang masih menekuri buku sastranya. Tapi yang tergugah kelakuan tengilnya itu justru mahasiswa yang sedang asyik membaca di sana. Kontan seluruh batok kepala yang yang ditumbuhi beraneka jenis rambut menoleh ke arahnya. Dan, gadis yang berbusana modis-trendi-dinamis itu menunduk malu-malu seperti kucing. Ia duduk kalem.

Comment