Cinta Telah Berdebu

“Kau pasti suka melamun.”

“Ya,” sahutmu tak mengelak. “Kalau punya masalah, aku membaginya kepada ombak dan burung-burung, pada kanvas ini…” Ada kegetiran yang mengalir lewat pengakuanmu.

“Meskipun masalah itu akan menyongsongku kembali begitu tiba di rumah.”

“Kau….” Aku menatapmu lurus-lurus. “Kau menyimpan persoalan?”

“Banyak.”

“Aku terkejut sekaligus gembira. Tidak setiap orang bisa secepat itu mempercayai orang lain. Apalagi, belum saling menyebutkan nama. Tapi kau percaya kepadaku!”

“Apakah persoalan itu menyangkut keluargamu?” tanyaku lebih jauh.

Kau menoleh, tersenyum pahit, lantas menggeleng tak yakin. Kuhela napasku hati-hati.

Merasa sedang menghadapi sebuah ‘puisi’.

“Kau lihat tembok rumah yang tinggi di sana?” Jarimu menunjuk ke dinding yang menjulang di belakang perkampungan nelayan.

Aku mengangguk penuh perhatian.

“Itu rumahku! Rumah yang megah!” Suaramu sinis. “Aku tidak suka tinggal di situ. Alangkah kontras pemandangan yang dihadirkannya. Beberapa langkah saja dari sana, kita menemukan gubuk-gubuk kumuh di sini.”

Aku mengangguk lagi, membenarkan.

“Pernahkah penghuni rumah-rumah megah itu tahu apa yang terjadi tiap hari di sepanjang pantai di belakang istana mereka ini?” tanyamu dengan suara emosional.

Aku hanya diam, termangu oleh satu sinis yang tak ketus.

“Papa atau Mama tidak ingin tahu. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Mereka cuma tahu kehidupan di tepi pantai lain. Di Akai, Barata, Makassar Golden Hotel, Safari Park, dan sekitarnya. Mereka menutup mata bahwa di belakang rumah mereka ada kampung nelayan yang miskin….”

Kuperhatikan matamu sungguh-sungguh. “Kau memusuhi orang tuamu?”

Kau tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Sesaat matamu melamun, sebelum akhirnya berkata dengan suara serak. “Aku tak bisa membayangkan daerah ini di masa depan.”

“Agaknya kau mengkhawatirkan sesuatu.” Aku menatapmu lunak.

“Tanah tempat mereka mendirikan perkampungan itu, dulunya adalah laut. Mereka bersusah payah-payah menimbunnya dengan mengeruk pasir laut. Tahukah kau, ketika mereka melakukan pekarjaan berat itu seluruh tenaga dikerahkan, termasuk anak-anak kecil. Tapi, hasilnya bukan tidak mungkin sia-sia. Tanah yang seharusnya milik mereka tidak dilindungi Undang-undang, akan direnggut oleh orang-orang di rumah megah itu. Dan bila kelak tergusur, kita hanya akan menyaksikan lagi drama kemanusiaan yang mengharu-biru.”

Saat itu, entah berapa banyak kalimat yang hendak kutuangkan tapi tertelan kembali. Aku hanya mampu memandang wajah ayumu dalam remang petang dengan perasaan ganjil. Aku ingin memperpanjang perbincanganku denganmu di waktu-waktu berikutnya.

Comment