Cinta Telah Berdebu

Bah! Sandiwara macam apa ini?

“Sasha!” Aku memekik memanggilmu tanpa peduli perasaan Aline. Aku melompat, mengejarmu dengan hati luluh-lantak. Sungguh mati, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Sasha. “Sasha!”

Di pintu gerbang pertunjukan, hanya dingin yang menyambutku. Kulihat sisa penonton yang menunggu kendaraan pulang, dan sebuah taksi yang tiba-tiba menjauh dari halaman parkir.

Kakiku sulit dibawa melangkah, meskipun tahu persis bayangmu ada di balik kaca sedan yang sedang pergi.

Pada akhirnya aku mengambil sikap yang amat buruk: meninggalkan dunia teater justru ketika kuraih gelar terhormat sebagai pemain terpuji. Aku berpisah dengan Kak Yudhis, yang tentu sangat kehilangan. Aku hanya merasa gagal memelihara sebuah hati. Hatimu, Sasha! Yang kini menjadi ‘Sri Panggung’ dalam dimensi yang tak mengenalku lagi.

Engkau memainkan teater yang sesungguhnya. Pelupuk matamu menyipit, kadang membara, atau bahkan menatap kosong tanpa makna. Mulutmu meracau, sesekali tertawa sedih. Ucapan-ucapanmu semakin jauh, dan tak lagi tergapai oleh akal sehatku. Tungkai kakiku gemetar.

Hatiku remuk dan membanjirkan darah. Aku ternyata bukan aktor yang baik. Perasaanku tak dapat dimanipulasi. Laki-laki akan tertawa dan menangis untuk satu kejadian saja. Sebab rasa yang dimiliki laki-laki: bugil bagai bayi. Maka aku menangis untukmu, Sasha. Betul-betul mengeluarkan airmata, yang berjatuhan membasahi catatan harianmu selama mencintaiku.

Kalau kelak aku mampu jatuh cinta lagi, barangkali tak sedalam ini perasaanku.

“Kepundan itu meletus, Raga.” Suara Tante Mei terdengar kering waktu itu. “Dia sudah tak sanggup lagi memendam lahar!”

Kupandangi wajah berduka itu dengan putus asa. Aku tidak membutuhkan kalimat penjelasan serupa itu. Aku justru memerlukan pernyataan dari orang-orang di sekeliling. Aku butuh keyakinan bahwa kamu, gadisku, bukanlah orang gila!

Astaga, aku mulai menggigil oleh angin laut yang basah. Matahari sudah lama menghilang. Suara ombak terus terdengar, seriuh lima tahun lalu. Tapi kini cinta telah berdebu dan segalanya kurasakan jauh berbeda.

Tak kumiliki apa-apa lagi di pantai ini, kecuali sebuah kenangan yang menambah jumlah bersalahku dari tahun ke tahun. Tanpa kau, Sasha, pengembaraan ini jadi semakin sunyi. Seperti debu yang sendiri.

Catatan:

Cerpen pernah dimuat di Majalah Gadis, Jakarta pada 1988

Comment