Ironi Biru Sania

“Kita mau kemana, Pi?”

Sedan mewah itu berhenti di pinggir jalan tepat  berhadapan dengan sebuah Sekolah Luar Biasa. Papi memencet tombol buka jendela. Dikeluarkannya kepalanya melalui jendela mobil. Memandang sekumpulan anak yang bermain di halaman sekolah itu.

“Sania tidak keberatan kan, kalau sesekali Papi ajak melihat dunia luar?”

Sania mengernyitkan dahinya tanda tidak mengerti, meski akhirnya dia mengangguk juga.

“Di sana,” Papi mengarahkan telunjuknya, “banyak sekali anak-anak yang bernasib kurang beruntung.”

“Mak-maksud Papi….”

Papi mengalihkan kepalanya, mengarahkan mukanya persis berhadapan dengan wajah sembap Sania. Ada sebait petuah bijak yang ingin disampaikannya bukan dengan kalimat-kalimat yang menggurui. Sania sudah kepalang berkalang kesombongan. Dia tidak akan mempan berubah hanya dalam hitungan kejap.

Disadarinya hal itu, dan segera diputuskannya untuk membawa Sania ke tempat ini; di Sekolah Luar Biasa, di mana puluhan bahkan mungkin ratusan anak-anak cacat berkumpul dalam satu wadah penghiburan dan pengharapan. Yang bernasib tidak lebih baik dari Sania, putri tunggalnya.

“Di dalam sana banyak anak-anak cacat….”

“Papi….”

“Dengar, Sania. Sungguh, Papi sangat sayang sama Sania. Bagi Papi, Sania adalah segalanya. Papi kerja keras banting-tulang pun semuanya demi Sania.” Papi bicara setenang mungkin.

Sania menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap mata Papi.

“Kalau Sania pingin operasi plastik karena alasan hidung pesek, Papi sama sekali tidak melarang. Papi tidak marah, kok. Bahkan, Papi akan membayar semua biaya operasi plastik Sania itu.” Papi memejamkan matanya sesaat, lantas menarik napas panjang-panjang. “Cuma Papi ingatkan, Sania terlahir dengan fisik yang utuh. Sania terlahir sebagai balita normal yang tumbuh tanpa ada kekurangan apapun.”

Sania menggigit bibirnya.

“Nah, lihat itu,” Papi kembali mengarahkan telunjuknya ke pekarangan SLB, di sana tampak seorang gadis kecil dengan wajah yang ditumbuhi semacam tumor sebesar bola tenis, sedang bermain ayunan bersama beberapa teman ciliknya yang tuna-grahita. “Seharusnya anak kecil itulah yang perlu operasi plastik untuk membuang tumor di mukanya. Seharusnya dia, bukan Sania!”

Tanpa sadar Sania mengucurkan airmata. Sebaris kalimat lembut Papi barusan  menohok hatinya. Menggugah sampai ke mata nuraninya. Membuatnya tersadar. Bahwa dia masih sangat jauh beruntung ketimbang anak-anak tuna-grahita tersebut. Dirangkulnya seketika tubuh besar Papi.

“Sa-Sania khilaf….”

“Papi sayang banget Sania,” bisik Papi sembari membelai rambut Sania. “Baik atau buruk, cantik atau jelek, Sania tetap anak Papi!”

Sania tersenyum. Hatinya terasa sejuk.

Catatan:

Cerpen pernah dimuat di Majalah Kawanku, Jakarta pada 2000 dengan judul Sania.

Comment