Makna Beduk di Masjid dan Klenteng

Salah satu beduk Tiongkok yang terdapat di Klenteng Xian Ma, Jalan Sulawesi, Makassar.

MEDIAWARTA.COM, JAKARTA – Sejarah beduk yang biasa digunakan masjid di Indonesia, bisa ditelusuri pada masjid-masjid tua yang memiliki artefak beduk seperti di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan wilayah lainnya di Indonesia.

Imam Pratama Nasution dari Departemen Arkeologi Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), mengatakan beduk merupakan sejenis gendang besar dan panjang yang biasa digunakan di masjid.

Saat ditabuh beduk berfungsi untuk memberi tahu umat Islam tentang waktu salat. Kemudian akan dilanjutkan dengan kumandang azan.

Selain beduk, di masjid (terutama di Jawa) biasanya juga terdapat alat pukul lainnya berupa kentongan (kohkol) yaitu sebuah balok kayu yang tengahnya berlubang yang juga sebagai penanda waktu salat.

Selain itu di beberapa klenteng atau vihara, beduk juga masih digunakan hingga saat ini sebagai penanda dimulainya ritual sembahyang umat Tionghoa di klenteng atau vihara, dan juga digunakan saat pertunjukan barongsai.

Menurut Imam, saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu di Jakarta, dari segi bahasa, kata beduk memiliki bentuk penulisan yang berbeda serta punya makna tertentu. Dalam kamus yang disusun Hoetomo, kata beduk yang juga biasa ditulis “bedug”, artinya tabuh atau gendang besar yang ada di surau.

Sementara, kata kentong atau kentung, adalah tiruan dari bunyi “tung-tung”. Kentung-kentung adalah bunyi-bunyian yang berasal dari bambu atau kayu berongga yang dipukul untuk menyatakan tanda waktu atau tanda bahaya serta untuk mengumpulkan massa.

Di sejumlah daerah, beduk memiliki sebutan masing-masing, seperti di daerah berpenduduk Jawa disebut “beduk”, di wilayah Sunda disebut kohkol, di daerah Sumatera seperti di Kerinci dan Padang disebut tabuh. Di daerah lain mungkin juga ada nama lokalnya.

Sementara itu, dosen Program Studi Tiongkok di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Agni Malagina, mengatakan, sejak dua ribu tahun silam di Tiongkok dikenal drum atau Gu. Saat itu beduk digunakan sebagai genderang perang untuk memberi aba-aba kepada para prajurit. Misalnya suara beduksebagai perintah untuk menutup gerbang kota atau menjelang tutupnya pasar.

Bahkan saat malam pergantian tahun, di Beijing Tiongkok juga diperdengarkan bunyi drum (beduk) bersamaan  bunyi petasan. Dari keyakinan mereka, bunyi-bunyian itu dimaksudkan untuk mengusir makhluk jahat bernama “nian”.

Selain itu, beduk juga menjadi salah satu alat yang selalu digunakan dalam perayaan keagamaan dan tradisi masyarakat Tionghoa. Karena itu, rumah-rumah ibadah seperti kelenteng, vihara dan kuil juga memiliki beduk.

Di kelenteng, beduk juga memiliki ornamen dan corak yang bervariasi seperti berbentuk burung, Naga, bunga dan sebagainya. “Ornamen-ornamen itu merupakan simbol yang mengandung makna tertentu,” ujar Agni.

Saat ini beduk masih lazim digunakan di Indonesia, dan memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran, serta biasa digunakan pada upacara religi atau upacara adat.

“Sejumlah warga Tionghoa juga meyakini, beduk adalah salah satu alat yang dipegang sesosok dewa. Di zaman Zheng He (Laksamana Ceng Ho), beduk digunakan untuk memanggil masyarakat atau penanda waktu untuk salat,” imbuhnya.

Nurizatti/Foto: Effendy Wongso

Comment