Mawar Kecil di Sudut Hati

Untuk cerita yang belakangan ini, Adelia tidak begitu ambil pusing. Menurutnya, Mama sama saja dan tak ada bedanya dengan Odi. Mereka selalu terobsesi untuk menjadi orang kaya. Bagi Adelia, kehidupannya yang sederhana di kampung cukup membahagiakannya. Jadi menurutnya pula, dia tidak perlu mikir macam-macam, apalagi sampai terobsesi demikian rupa kayak Odi dan Mama.

Huh! Tia mendengus. Omong kosong! Nyatanya, Adelia tidak begitu dalam praktiknya. Dia jetset. Buktinya, gaun-gaun mahal yang dibelikan Mami diambilnya tanpa mengucapkan sepatah kalimat basa-basi. Lihat pula bagaimana ‘ijo’-nya matanya melihat barang-barang mewah yang terpajang menggiurkan di Sogo atau Plaza Senayan. Kalau dia sederhana, pasti dia tidak akan terpesona begitu.

Membayangkan semua itu sakit jadinya hati Tia. Papi begitu memanjakannya. Selalu saja gadis itu berada dalam rangkulannya. Seperti perangko dengan surat saja! Di mana-mana lengket terus. Kemana-mana ngekor terus. Papi menjadi lupa kepada Tia, seakan-akan Tia tidak pernah ada dalam kehidupan Papi sejak kehadiran makhluk mahajelek bernama Adelia itu!

Sekarang gadis itu membuat pusing keluarga. Minggat sih tidak bilang-bilang. Nyusah-nyusahin saja. Dasar gadis pembuat onar! maki Tia membatin. Lha sekarang, Papi menyudutkannya. Kepergian Adelia yang tanpa kabar itu seolah-olah merupakan kesalahannya. Itu menurut anggapan Papi. Sebab Papi nanyanya kayak mendiskreditkan Tia. Padahal kan tidak pernah Tia ngusir Adelia! Adelia-nya saja yang kelewat mudah tersinggung dan kecil hati. Entah dalam suratnya dia bilang apa. Pasti dia menjelek-jelekkan Tia.

“Barangkali Tia ada masalah dengan Adel?” Nah, tuh! Papi mulai lagi menyudutkannya.

Tia sudah tidak tahan ditanya-tanya begitu. Kesabarannya sudah habis. “Tia tidak suka sama Lia, Pi!”

“Kenapa, Tia?” Kali ini Mami yang bertanya. Dihapusnya air mata yang menetes di pipinya dengan jemarinya.

Tak terasa air mata Tia pun menitik. Emosinya semakin meletup-letup. “Tia benci sama Lia, Mi! Lia merebut perhatian dan kasih sayang dari Papi-Mami yang selama ini tercurah buat Tia!” teriaknya berterus terang, lalu menelan ludahnya dengan susah payah. “Tia tidak dianggap sejak kehadiran Lia di rumah ini!”

“Itu anggapan Tia, kan?” Papi tersenyum bijak, lantun kalimatnya melembut. “Tapi itu tidak benar, Tia. Papi, juga Mami, masih sayang sama Tia, kok. Kalian adalah anak Papi dan Mami. Tidak ada yang mendapat perlakuan istimewa. Semuanya sama.”

“Tapi….”

“Tia,” Papi merangkul pundak Tia. “Percayalah. Papi-Mami sayang banget Tia. Sedikit pun perhatian dan kasih sayang kami tidak berkurang kepada Tia.”

Tia terisak di dada Papi. “Trus, Lia….”

“Adel juga anak Papi-Mami. Kami juga menyayanginya seperti menyayangi Tia,” jawab Papi mantap.

Tia tersengat. Ini yang tidak diinginkannya. Ternyata Papi telah menduakan kasih sayangnya. Mendadak kepalanya pening seperti biasa kalau lagi mikir yang berat-berat atau yang meresahkannya. Migrainnya kumat. Dan menyebabkan dia limbung. Papi dan Mami cepat memapahnya ke kamar. Mereka kalut luar biasa.

Comment