Mawar Kecil di Sudut Hati

Wajah Tia memias. Kontan dihentikannya kunyahan apel yang telah dihabiskannya seperempat biji.

“Ja-jadi apel ini….”

“Dari Adel, Sayang.” Papi menjelaskan.

Dengan kasar Tia melempar sisa apel yang berada di genggamannya ke lantai. Dimuntahkannya pula apel yang sempat dikunyahnya tadi!

“Tia…!” Papi ternganga.

“Dari mana Lia tahu kalau Tia sedang berada di sini, Pi?!” tanya Tia gusar.

Papi berdeham. “Papi yang memberitahu Adel di kampung.”

“Tidak bisakah Papi sejenak saja melupakan Lia? Tidak bisakah dalam sehari saja Papi tidak menyebut namanya?!” Tia mendengus.

“Tia, ada apa sih denganmu?” Papi bertanya dengan nada tidak senang.

“Haruskah Tia bilang sampai beratus-ratus kali ke Papi, Tia tidak senang sama Lia?!” Dari berbaring Tia duduk bersila di ranjang.

“Kenapa, Tia?” Apakah Tia tidak suka ada orang lain yang hadir dalam keluarga kita? Atau, Tia cemburu karena Papi menyayangi Adel juga?”

“Ya, Tia cemburu, Pi!”

“Tia egois!”

“Papi bisa bilang begitu. Memang Tia egois. Tia cemburuan. Tapi, mengapa baru sekarang, Pi?! Mengapa di saat Tia sudah beranjak dewasa baru Papi memberikan Tia seorang adik? Tia toh telah terbiasa hidup sendiri. Tia tidak butuh seorang adik lagi!” Tia menelungkupkan wajahnya ke bantal yang dipeluknya tadi.

“Ta-tapi Adel baik, Tia.” Suara Papi melunak.

“Menurut Papi. Tapi mengapa harus Lia?”

“Karena Lia adalah saudara kandungmu, Tia!” Getas suara Mami melantun, dari arah kamar kecil. “Karena darah yang mengalir di tubuhmu sama dengan darah yang mengaliri tubuh Lia!”

Tia membelalak. Dia seperti mendengar lelucon yang artifisial, yang sering didengarnya saat hangout dengan teman-temannya sekolahnya di kafe.

Tia mencoba tersenyum menanggapi kalimat Mami yang baginya tidak lebih dari sekadar lelucon picisan. Tapi, tidak bisa! Dia tidak bisa tersenyum sekalipun dipaksakan. Sebab derai tangis wanita yang melahirkannya itu memaksanya untuk percaya, sekaligus membuat bibirnya mengatup rapat.

“Ma-Mami bohong!” Tia terbata-bata, belum berhasil mengatasi keterkejutannya. “Mami bohong kan, biar Tia tidak membenci Lia? Biar Tia dapat menerima Lia sebagai seorang adik?”

“Mami tidak bohong, Tia,” kilah Papi, duduk kini di bibir ranjang sembari memperbaiki jurai rambut Tia yang menutupi sebelah matanya.

Tia mengangkat muka setelah tepekur beberapa saat lamanya tadi. “Dengan alasan apa, Pi?” Ditatapnya mata Papi lumat dan tepat di manik mata. “Kedengarannya lucu banget,” dideraikannya tawa hambar, “tiba-tiba saja Papi-Mami bilang Tia punya saudara kandung. Bukankah ini….”

“Tia….” Papi kembali berdeham, diliriknya Mami yang masih terisak pelan di sudut sana. “Ada yang Tia tidak ketahui selama ini.”

“Dan sesuatu yang Tia tidak ketahui itu pasti tentang seorang gadis cantik-manis-manja-gemas bernama Adelia, yang tiba-tiba menjadi adik kandung Tia, kan?”

“Dengar dulu, Tia!” Papi menyergah masyugul.

Comment