Mawar Kecil di Sudut Hati

Tia terdiam. Giris hatinya mendengar bentakan Papi. Tidak seperti biasanya Papi segusar kali ini.

“Papi akan menceritakan semuanya, Tia. Sebab Papi kira tidak ada yang perlu disembunyikan lagi.”

Tia menyimak dengan hati galau.

Dan Papi bercerita panjang-lebar tentang masa lalu. “Adel adalah adik kandungmu, Tia. Dia Papi serahkan ke kerabat Papi sesuai permintaan seorang ‘pintar’.”

“Un-untuk dan tujuan apa, Pi?” Tia mulai yakin.

“Semua demi menyelamatkanmu. Demi kesembuhanmu. Adel bayi kami jadikan semacam ‘tumbal’ agar kamu sehat selayaknya balita-balita yang lain.” Papi jeda tiga detik, menelan ludahnya pada detik berikutnya, lalu menyambung. “Penyakitmu benar-benar meresahkan Papi-Mami. Bayangkan, pada usiamu yang kedua, jangankan berjalan, berdiri pun rasanya kamu sulit.”

“Lantas?” Tia bertanya, semakin merapatkan tubuhnya ke sisi kiri pundak Papi.

“Dan ternyata kamu betul-betul sembuh setelah kami berikan Adel kepada Rustandi,” Papi meneruskan, diperbaikinya ikatan dasi sebagai wujud keresahannya.

“Rustandi?” Alis Tia bertaut. “Siapa dia, Pi?”

“Dia Papa angkat Adel. Tapi… ah, belum pula lama dia mengasuh Adel, dia sudah dipanggil Tuhan!” Mata Papi berkaca-kaca. “Lalu, istrinya kemudian pulang ke kampung, beserta Adel dan kedua anak kandungnya sendiri.”

“Kok, Papi tega ngasih Lia ke orang lain?” Tia seolah menuntut.

“Itulah, Tia. Mungkin karena Papi-Mami sudah tidak sempat berpikir saking kalutnya sehingga mengambil keputusan sesuai yang diamanatkan orang ‘pintar’ kenalan Papi itu,” jawab Papi menyesal. “Tapi demi kesembuhanmu, dan mengingat Rustandi belum dikaruniai anak pada waktu itu, maka Papi berani mengambil keputusan itu.”

“Papi tidak nyesal?”

“Tidak pada mulanya, Tia. Sebab kamu memang sembuh pada waktu itu. Tidak sakit-sakitan lagi. Tidak kejang-kejang lagi. Tapi…?”

“Tapi apa, Pi?”

“Tapi setelah rentang waktu yang tidak begitu lama, kamu sa-sakit lagi. Ka-kamu bahkan….” Papi tersekat. Dan terisak!

“Ada apa, Pi? Ngomong, Pi! Ngomong!” Tia mengguncang-guncangkan bahu Papi.

Mami bicara, turut terisak pilu. “Ti-Tia menderita leukemia!”

Tia tersentak! Air matanya bergulir tiba-tiba.

Mami memeluk Tia yang masih mematung dengan wajah pasi. Sesaat tadi menjerit histeris tanpa sadar sebelum meredakan emosinya setelah mendengar bisikan parau Tia:

“Tia pasrah, Ma! Tia pasrah! Ini semua sudah takdir!”

“Papi yang bersalah! Papi memisahkann Tia dari Adel!” Papi memukul-mukul kepalanya sendiri. “Papi bersalah!”

Comment