Mawar Kecil di Sudut Hati

Mawar Kecil di Sudut Hati
Oleh Effendy Wongso

Jangkrirk!

Tia mengumpat. Pelepah bibirnya perlahan mengikal setelah sedari tadi membentuk manyun. Tidak bakalan ada negosiasi dengan cewek bermata teduh itu. Jelas-jelas dia telah merampas ketenteraman dan ketenangan Tia selama ini. Yang dulunya damai, kini terasa gersang seperti di Gurun Sahara!

Dan yang terpenting, bagi Tuan Asdaully dan Nyonya Agustina Anwar, terhapus sudah kasih sayang yang tercurah penuh kepada Tiana Ernina Anwar. Sekarang, Tia tidak lagi menikmati tahta yang telah didudukinya sekian belas tahun sebagai ‘ratu kecil’.

Titahnya yang dulu ampuh dan manjur, kini mandul dan tumpul. Jangkrik! Kembali terlontar umpatannya. Tapi tentu saja dalam hati. Sebab Tia tidak ingin diberi kuliah gratis tentang sopan-santun dari Papi-Mami tersayang.

Gelarnya sebagai putri tunggal Anwar tidak berlaku lagi dalam kesehariannya. Gelarnya sekarang menjadi….

“Mbak Tia, sudah pulang?”

Tia membuang muka. Buuukk! Dilemparnya serampangan ransel sekolahnya ke atas sofa. Tak ada sahutan di bibirnya sebagai balasan atas sapaan ramah Adelia.

Si Mungil Adelia masih seramah tadi. “Atau, Mbak Tia mau minum air es? Lia ambilkan di kulkas, ya?”

Tia berhenti. Urung dia mengayunkan kakinya lagi menuju dapur. Dahaga yang menggerogoti tenggorokannya sejak di sekolah tadi terpaksa ditahan-tahan. Makhluk asing ini seolah tahu alur pikirannya. Dan Tia tak mau berutang jasa, terlebih terhadap makhluk yang disebeli!

Ya, disebelinya! Sejak makhluk yang tergolong manis ini masuk menjadi salah satu keluarga Anwar. Merebut kekuasaannya yang sudah enak sebagai putri semata wayang. Tidak ada lagi semata wayang-semata wayangan. Karena sekarang telah berlaku dua wayang. Dan wayang yang lain itu tidak lain dan tidak bukan adalah Adelia!

Ya, Adelia yang cantik. Adelia yang manis. Adelia yang imut-imut. Adelia yang menggemaskan. Adelia yang pandai merebut simpati Papi-Mami. Adelia yang….

“Mbak, minum ya?”

“Tidak usah!” Tia menampik, tak juga berhasil merendahkan kadar jengkelnya terhadap saingan barunya itu.

“Ta-tapi, Mbak Tia kan pasti haus,” Adelia berucap tulus dengan mimik yang tulus pula.

“Saya mau haus kek, mau apa juga kek, itu kan urusan saya!” Kali ini Tia sudah tidak dapat mengendalikan kegusaran yang telah memendam sampai lima hari yang lalu. Dan sekarang hari yang keenam, entah setan apa yang bikin dia berhasrat menumpahkan kalimat ketus begitu.

“Tapi….”

Comment