Perempuan yang Bersamaku

Foto: Effendy Wongso, Model Ilustrasi: Nasly Perosyah

Lagi-lagi ia seperti tahu apa yang ada di pikiranku.

“Aku telah lama menunggumu,” katanya sambil mengumbar senyum yang, lagi-lagi menggodaku.

“Kau menungguku?” Aku mengerutkan kening sambil melontarkan botol minuman keras kosong.

“Kau mabuk.”

“Apa urusanmu?!”

Perempuan itu malah tersenyum. Dan begitulah ia menggodaku. Lagi-lagi aku larut dalam buaian asmaranya. Entah sudah keberapa kali kami menikmati pergumulan terlarang itu. Hingga aku terkulai di sisinya, di atas tempat tidur rumahnya. Ia membelai rambutku dengan lembut dan aku tertidur di pangkuannya.

Aku menghabiskan sisa malam dengan buncah bahagia. Ia seolah memupus semua lara yang berkecamuk di benakku. Aku rindu buaiannya yang dapat melamur kesedihanku. Aku rindu belaiannya yang dapat menghapus kebencianku pada dunia ini. Sejenak, ya sejenak.

Perempuan itu seperti anugerah yang diturunkan dari langit untuk menghiburku, meski dalam cinta terlarang yang sama-sama kami lakoni dalam keterasingan! Tetapi, apa peduliku?! Bayang-bayang lara dan pemuncak kesedihan telah memasungku ke dalam nista ini. Mungkin ini bukan cinta sejati seperti damba banyak insan. Namun ia telah mengenalkan aku pada idiom cinta melalui hubungan kami yang terlarang.

Aku memilih tertidur di pangkuannya, dan sejenak, malam ini, melupakan kembali lara dan kesumat yang senantiasa membuatku sakit!

***

Namun waktu bergulir demikian cepatnya. Seperti Pangeran yang dibatasi oleh ikrar sang waktu, yang akan mengubah sang Pangeran menjadi si Gembel, dan mengubah kereta kencana menjadi labu, maka aku pun harus pulang ke muasal keberadaan.

Pagi datang seperti sepercik sesal yang terus menggulung. Senyap. Sesenyap petang-petangku yang datang kemudian. Perempuan itu telah pergi. Ia tak pernah datang lagi. Mungkinkah ia meninggalkan aku karena aku seorang pemabuk? Atau ada laki-laki lain selaksana Pangeran Sejati, yang jauh dan jauh lebih sekar ketimbang aku yang hanya seorang ‘gembel’?

Aku menggeleng. Entahlah.

Mataku mengerjap seperti biasa. Ada setetas dua landung embun yang dingin menerpa wajahku.

Aku terkejut bukan kepalang. Hei, kali ini aku dibawanya ke tempat pemakaman?! Rupanya, aku tertidur di sebuah pekuburan!

Dan saat ini aku masih separo terlentang di samping sebuah kuburan dengan papan nisan bertuliskan nama seorang perempuan yang telah kukaribi beberapa hari belakangan ini!

KINANTI!

Seluruh persendianku serasa lemas. Galauku berbaur bersama angin pagi dan aroma tanah pada kuburan tua.

Biodata Penulis:

Embar T Nugroho, lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 3 Februari 1978. Penulis yang kini berdomisili di Medan ini menulis sejak SMP hingga sekarang. Beberapa cerpennya dimuat di Aneka Yess! dan harian lokal Medan seperti Analisa Global, Medan Bisnis, dan Wartakita. Pernah meraih Juara Pertama dalam Lomba Mengarang Remaja Aneka Yess! 2002. Beberapa cerpennya juga termuat dalam Antologi Sastra Medan, dan satu cerpennya menjadi nominasi terbaik penerbit Escaeva, nominator Lomba Menulis Mudah. Ia sudah menerbitkan banyak novel, di antaranya Goodbye Singapore yang fenomenal.

Comment