Selamat Ulang Tahun, Cinta

Foto: Effendy Wongso, Model Ilustrasi: Nasly Perosyah

Aulia nimbrung setelah sedari tadi diam menyimak. “Eh, Tha. Kamu dipegang-pegang sama Agung hingga hate banget sama dia, ya?”

“Aulia… please…!” Kalimat itu serempak terlontar dari mulut Aretha dan Alya.

“Batalkan acara itu!” Aretha mengultimatum setelah mengalihkan pandangannya dari wajah culun Aulia, dan kembali menatap mata Alya yang sedikit rikuh dengan sikapnya yang emosional.

“Batalkan?!” Mata Alya melotot. “Heh, aku lebih memilih diomeli dan dimusuhi sama kamu ketimbang harus membatalkan acara nanti. Dih, bisa digorok leher aku sama Agung!”

“Apa hak Agung bikin acara ultah untuk aku?!”

Sepi sesaat. Entah Alya harus ngomong apa untuk membela diri. Ia kemekmek dengan pertanyaan Aretha barusan. Ya, untuk apa mereka turut campur dalam urusan Aretha dan Agung? sesalnya.

“Benar, aku tidak berhak atas hidup kamu!” Ada suara bariton dari arah bingkai pintu masuk pondokan. “Tapi, tolong. Jangan salahkan anak-anak. Aku yang nyuruh mereka, kok. Kalau kamu mau marah, marahlah sama aku. Acara nanti semuanya atas inisiatif aku kok, Tha!”

Kegiatan di dalam ruang dapur terhenti. Semua cewek melongok. Agung telah berdiri di hadapan Aretha dan Alya dengan sikap dingin.

“Tapi, aku tidak suka kamu seenaknya bikin acara siang nanti tanpa seizin aku, Gung!”

“Sori. Itu kesalahan aku. Tapi, semua aku lakukan demi kamu. Aku ingin bikin kamu happy. Aku ingin menebus kesalahan aku yang lalu, Tha!”

“Ta-tapi, bukan begitu caranya….”

“Aku tahu kamu masih benci sama aku, Tha! Kamu belum dapat menerima kegagalan cinta kita semasa SMP dulu. Tapi, swear! Waktu itu aku tidak bermaksud sakiti hati kamu. Aku….”

Aretha mengibaskan tangan. “Sudahlah, Gung! Itu masa lalu!”

“Tapi aku masih mencintai kamu, Tha!” Agung berteriak tanpa mempedulikan penghuni pondokan yang menyaksikan mereka. “Aku tidak bisa melupakan kamu. Sampai kapanpun juga!”

Aretha menutup telinganya dengan kedua belah telapak tangan. Namun, Agung menarik kedua lengan Aretha, mengentaknya dan memandang sepasang mata telaga itu dalam-dalam.

“Oke, oke. Dulu, memang aku yang salah karena tidak punya pendirian seperti yang kamu tuduhkan kepadaku. Tapi, aku mau kamu jujur. Kenapa kamu tidak mencari pondokan lain begitu kamu tahu sebenarnya aku ini anak Ibu Maya, pemilik rumah pondokan ini? Kenapa, kenapa, Tha?!”

Aretha tercenung. Digigitnya bibir keras-keras. Air matanya sudah menitik. Ada kalimat yang berdenyar di nuraninya. Kenapa? Ya, kenapa? Karena sesungguhnya ia pun masih mencintai Agung!

Dan ketika Agung menarik tubuhnya ke dalam pelukannya, ia tidak kuasa menolaknya lagi. Hanya air matanya saja yang semakin menderas.

“Aku cinta sama kamu, Tha,” jelas Agung. “Dan aku tidak ingin kehilangan kamu lagi. Selamanya.”

Aretha terisak. Rasa sakit yang selama ini berkecamuk di dadanya mendadak lenyap. Mungkin sudah saatnyalah ia membuka pintu hatinya untuk pemuda cinta pertamanya itu.

“Happy birthday ya, Tha,” bisik Agung lembut, mempererat pelukannya.

Sementara itu, terdengar riuh tepuk tangan nyaris seantero penghuni pondokan. Persis penonton dalam ruang teater yang menyaksikan akhir cerita yang membahagiakan. Happy ending.

Biodata Penulis:

Effendy Wongso, lahir di Bone, 13 Juni 1970. Cerpen-cerpennya tersebar hampir di seluruh majalah remaja nasional. Nominator Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Anita Cemerlang empat tahun berturut-turut, sekaligus salah seorang pengarang paling produktif versi majalah Anita Cemerlang 1996 ini, pernah tercatat sebagai koresponden majalah Anita Cemerlang (1996-1998), pemimpin redaksi majalah Planet Pop (1999-2000), dan redaktur pelaksana di majalah Makassar Terkini (2008-2009).

Comment