Aku dan Niko

Foto: Dok Winsen Liang

Persahabatan kami pun berlanjut terus, sampai tiba waktunya kami berdua harus kembali ke Jakarta karena kuliah kami sudah tuntas. Begitu sampai di Jakarta, aku memperkenalkannya kepada Papaku, yang sangat menyukainya. Namun, ketika aku memperkenalkannya kepada Rio, reaksi pacarku selama lima tahun tersebut benar-benar tidak kusangka.

“Aku tidak suka sama dia, Sar!” ujar Rio datar, dengan ekspresi masam yang membuat wajah gantengnya menjadi tidak enak dilihat. “Aku ingin kamu menjauhi dia. Toh sekarang sudah ada aku, kamu juga tidak perlu dia lagi, kan? Kalau mau teman jalan-jalan, kan ada Cindy, Rosa, atau Bianca….” lanjutnya sembari menyebutkan nama teman-temanku saat SMA dulu.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Rio tidak mengerti arti persahabatan Niko bagiku. Dia memang benar-benar cemburu. Namun saat itu, aku mengira kecemburuannya hanya akan berlangsung sementara. Toh, kalau dia sudah mengenal Niko lebih baik, pasti dia akan menyukainya.

Di sisi lain, walaupun Rio sangat tidak ramah kepadanya, Niko tetap ceria dan menganggap Rio sebagai teman. Ia juga masih sering menghubungiku, dan kadang-kadang ia main ke rumahku untuk menemani adik-adik perempuanku yang masih kecil-kecil. Mereka suka sekali dengannya karena ia pandai bercerita dan masakannya sangat enak.

Selain menemani si kecil Natasha bermain dan membaca, Niko juga sering membantu memberikan solusi-solusi masalah cowok untuk Theresia yang mulai beranjak remaja. Tahun demi tahun terlewati, dan Niko tetaplah teman yang terbaik untukku. Kami sering bertemu, sekadar berbincang-bincang. Kami bahkan mengajukan diri untuk menjadi guru sekolah minggu di gereja bersama.

Hubunganku dengan Rio juga menjadi semakin serius. Kami telah berpacaran selama lebih dari tujuh tahun. Ia sudah bekerja untuk Papa, membuat pernikahan semakin berada di dekat mata. Bagiku, semua yang kami lewati bersama telah menjadi suatu pattern yang amat sangat predictable.

Ya, mengapa aku harus khawatir? Rio laki-laki yang baik, dia luwes dalam pergaulan dan akrab dengan semua saudara-saudaraku, mempunyai tabungan yang lebih dari cukup untuk memulai suatu rumah tangga, dan kami tidak pernah berselisih lebih dari pertengkaran-pertengkaran kecil. Dan bukankah aku juga telah mengenakan cincin ‘janji’ dari Rio?

Akan tetapi, sore itu aku tidak mengenakan cincin tersebut. Aku tidak pernah mengenakannya apabila sedang bersama-sama Niko. Rio telah memberikan ultimatum kepadaku seminggu yang lalu, sebelum aku dan Niko berangkat bersama-sama ke San Francisco untuk menghadiri reuni angkatan kami saat kuliah dulu.

“Aku tidak mau kamu dekat dengan Niko lagi. Kita sebentar lagi akan menikah Sar, dan aku sering mendengar orang-orang mempergunjingkan kedekatanmu yang tidak wajar dengan Niko. Bagaimanapun juga, dia laki-laki dan kamu perempuan. Aku percaya kepadamu, tapi kamu harus memutuskan hubunganmu dengannya,” ultimatum Rio. Tanpa ekspresi. Dingin sekali.

Comment