Aku dan Niko

Foto: Dok Winsen Liang

Aku menoleh ke sampingku dan melihat Niko yang juga sedang menatapku dengan tatapan matanya yang lembut. Hari ini aku harus mengatakannya. Katakanlah! Jeritku dalam hati. Katakan kalau kamu tidak dapat menemuinya lagi! Namun pada saat kata-kata yang telah aku persiapkan hendak meluncur dari bibirku, aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan sebaliknya merangkul pundak Niko.

Pada saat itu, aku menyadari sesuatu yang telah aku sangkal selama bertahun-tahun. Aku tidak dapat mengakhiri persahabatanku dengan Niko karena aku membutuhkannya setiap hari untuk seumur hidupku. Aku ingin selalu melihatnya tersenyum, mendengarkan canda tawanya, dan merasakan kehadirannya di sisiku ketika aku sedang sedih atau gundah. Ternyata aku menyayanginya dan membutuhkannya lebih dari seorang sahabat.

Aku menatap ke dalam bola matanya yang berwarna hitam pekat bagaikan telaga. “Sejujurnya, aku… aku sayang kamu… aku tidak bisa kehilangan kamu….” Air mataku pun tumpah membasahi kemejanya.

Namun Niko hanya diam memelukku dan mengusap rambutku. Setelah tangisku terhenti, barulah ia memegang kedua pundakku dan menatap lurus ke dalam mataku.

“Tahukah kamu Sha, apa yang selalu kudoakan setiap minggu di gereja?” Ia tersenyum. “Aku mendoakan kebahagiaanmu. Namun, jika ia tidak bahagia bersama Rio, Tuhan, maka izinkan aku yang membahagiakannya….”

Tangisku pun pecah kembali dan kami berpelukan lama sekali, seperti dua orang yang baru menyadari cinta mereka berdua. Angin bertiup dengan pelan, ombak berdesir dengan lembut… seakan menjadi saksi cinta kami berdua.

Sejak saat itu, aku dan Niko tidak pernah lagi mengenal kata berpisah. Sore itu aku menyadari bahwa aku bertanggung jawab atas kebahagiaanku sendiri. Kata orang, cinta yang sejati tumbuh karena kebersamaan.

Kadang, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu, karena takut kau berpaling dan memberi jarak. Namun, bila suatu saat ia pergi, barulah kau akan menyadari ia adalah cinta yang tidak kau sadari.

Tampaknya, aku tidak sekadar membutuhkan Niko…. Aku telah jatuh cinta, walau aku tidak pernah menyadarinya sampai detik aku hampir kehilangan dirinya.

Biodata Penulis:

Joanna Octavia, lahir di Jakarta, 18 Oktober. Alumni Jurusan Ekonomi dan Ilmu Politik University of British Columbia di Kanada ini sangat menggemari dunia tulis menulis. Lulusan SD-SMU Sekolah Pelita Harapan Karawaci Indonesia ini, juga sudah menunjukkan eksistensinya sebagai penulis potensial. Pernah meraih penghargaan sebagai Juara IV Kompetisi Analisis Sastra Tingkat SMA (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2005). Ia juga pernah menjabat sebagai wartawan koran kampus The Ubyssey, menjadi Juri Kompetisi Analisis Sastra Tingkat SMA untuk Bulan Bahasa di Sekolah Pelita Harapan Karawaci (2005), dan Penulis Tetap Rubrik Cerpen untuk koran sekolah bernama PH Explosion. Joanna suka membaca buku-buku sastra dan novel Indonesia, juga politik dan sejarah. Ia sangat menyukai karya Pramoedya Ananta Toer dan Soe Hok Gie.

Comment