Arwah yang Suka Bernyanyi

Foto: Shutterstock

Ketika rumah telah sepi, Miko juga keluar rumah. Sejak siang tadi, ia telah menetapkan niat untuk menemui Pak Wisnu yang datang tadi pagi. Begitu banyak informasi yang ingin ia ketahui, terutama mengenai tempat tinggal barunya. Di lingkungan barunya ini, Miko merasa hanya baru mengenal Pak Wisnu. Sampai detik ini, Miko hanya punya anggapan bahwa keanehan yang diperlihatkan Karmila pasti ada kaitannya dengan rumah baru mereka.

Tak sulit untuk menemukan rumah Pak Wisnu di lingkungan yang tidak terlalu padat itu. Dan Miko agak lega karena ia disambut dengan baik dan ramah oleh Pak Wisnu.

“Ada apa Ananda datang kemari? Nampaknya ada sesuatu yang amat penting sekali…,” sambut Pak Wisnu seketika, begitu melihat Miko datang dengan wajah keruh.

“Adik saya kesurupan lagi….”

“Kesurupan? Maksudnya, seperti semalam lagi? Masya Allah… saya tadinya hendak berkata begitu, tapi takut menyinggung perasaan ayahmu.”

“Ja-jadi, Bapak pun tahu bahwa Karmila, adik saya, kesurupan setan?” Miko semakin antusias.

“Ada arwah yang merasuki adikmu….”

“Persis! Saya pun beranggapan begitu. Tapi, Bapak saya selalu menilai saya kelewatan, mengada-ada.”

Pak Wisnu mengangguk-angguk, tanda memahami.

“Apakah ada kaitannya dengan rumah kami?”

“Saya tidak berani memastikan begitu. Tapi….”

“Apakah sebelumnya pernah terjadi keanehan di rumah itu? Sejak semula saya kurang setuju kalau Bapak saya membeli rumah hantu itu.”

“Rumah hantu?”

“Mirip, kan? Suasananya begitu…” Miko berhenti sebentar. “Tunggu! Sekarang saya ingat lagi….”

“Selama ini tidak pernah terjadi keanehan di rumah itu, kecuali….”

“Tunggu dulu, Pak. Sekarang saya yakin bahwa suara nyanyian dari mulut adik saya sama sekali bukan suaranya. Melainkan….”

“Suara anak-anak?” potong Pak Wisnu.

“Ya, betul!”

Sebentar, Pak Wisnu seolah membantu dengan mengernyitkan dahi berusaha mengingat-ingat. “Di telinga saya, suara itu adalah suara Niar.”

“Bapak yakin?”

“Dulu saya sering datang ke rumah itu untuk memotong rumput. Beberapa kali dalam sebulan Pak Sindhu mengupah saya untuk membersihkan halaman rumahnya. Memotong rumput, memangkas pohon. Jadi, saya sudah hapal dengan suara dan nyanyian Niar. Kasihan anak itu….”

“Tapi, kata Bapak saya, Pak Sindhu tidak memiliki anak.”

“Bohong. Mungkin ia hanya malu karena….” Pak Wisnu ragu untuk meneruskan ucapannya.

“Karena apa, Pak?” Miko mendesak.

Pak Wisnu menarik napas panjang terlebih dahulu. “Putri satu-satunya itu berubah ingatan!”

“Mak-maksud Bapak, gila?!”

Comment