Arwah yang Suka Bernyanyi

Foto: Shutterstock

“Saya sering masuk ke rumah itu dan tahu persis situasi dari ruang-ruang di dalam. Tapi seingat saya, di bawah tangga ke atas itu sengaja dibiarkan terbuka. Tentu saja terbuka, karena jadi ruang kecil yang dimanfaatkan sebagai gudang. Betul! Saya selalu mengambil sabit dan gunting rumput dari bawah tangga,” ungkapnya.

“Nanti dulu! Bapak pasti salah ingat. Tak ada ruang di bawah tangga. Yang ada cuma dinding!”

“Bongkar…?” Pak Wisnu bergumam. Lalu tiba-tiba: “Ayo kita ke rumahmu!”

Miko terbawa oleh semangat Pak Wisnu. Hanya dalam dua kali pertemuan, ia telah merasa akrab dengan Pak Wisnu. Tidak lama berselang sesampainya di rumah, Ibu Wibi tidak bisa berbuat banyak kecuali membiarkan Pak Wisnu masuk ke rumah. Ia percaya sepenuhnya pada Miko. Dan semua demi kebaikan Karmila!

“Dinding ini!” Miko menunjuk dinding di sisi tangga, atau lebih tepat disebut di bawah tangga. Semestinya ada ruang berbentuk segitiga di bawah tangga itu, namun yang ada adalah dinding. Dinding yang menutup ruang kecil berbentuk segitiga di bawah tangga.

“Dulu dinding ini tidak ada!” kata Pak Wisnu spontan. Spontan pula ia memukul-mukul permukaan dinding itu. “Nah, benar bukan? Dengarkan suaranya! Di balik dinding ini ada ruang kosong. Di sinilah dulu saya mengambil dan menaruh kembali peralatan kebun.”

Miko ikut memukul-mukul dan akhirnya membenarkan ucapan Pak Wisnu.

“Ini dinding baru. Lihat perbedaan warnat catnya. Beda, kan? Dinding ini lebih baru dan… sayangnya agak asal-asalan membuatnya. Siapa tukang borong yang membuatnya?” Pak Wisnu berkata pada dirinya sendiri.

Selagi keduanya, ditambah kemudian dengan Ibu Wibi, masih memeriksa dinding itu, terdengar suara langkah tergesa menuruni anak tangga.

“Bongkar!”

Mereka bertiga menoleh dan tercekat.

“Mila?!” Ibu Wibi dan Miko menjerit serentak.

“Niar?” Pak Wisnu berkomat-kamit.

Mulut Karmila yang mengeluarkan keluhan amarah, berangsur-angsur berubah menjadi tangisan pilu. Tangis seorang bocah!

Mulut Pak Wisnu masih komat-kamit. Ia menggosok-gosokkan telapak tangannya, meniupkan tiga kali, lalu melangkah mendekati Karmila. Tangan Pak Wisnu terulur maju dan tahu-tahu telapak tangannya mengusap wajah Karmila.

Miko dan Ibu Wibi kian terpukau ketika melihat Karmila seperti terhentak. Seketika pula ekspresi wajah dan cahaya matanya berubah.

“Ibu…?” Karmila menatap ibunya dan kakaknya bergantian. Matanya seperti seorang yang baru bangun dari tidur. “Pada mau ngapain?”

“Anu… Non, Ibu menyuruh saya membongkar dinding ini.” Pak Wisnu justru yang menjawab sambil menunjuk dinding di bawah tangga.

“Lho, kenapa?” Karmila terheran-heran.

“Karena bisa untuk gudang, Mila,” kata Miko.

Ibu mengangguk. Artinya, di antara mereka bertiga, tanpa harus bicara, telah ada kesepakatan bahwa dinding itu harus dibongkar.

Ibu Wibi mengajak Karmila kembali ke kamar.

“Ternyata Pak Wisnu punya ilmu.”

“Ilmu apa? Cuma kemampuan kecil. Ananda pun bisa belajar. Cuma doa.”

Comment