Bidadari Kecil

Foto: Istimewa

“Rino juga lagi ma’am,” ketus pembantu wanita itu dengan mata melotot galak. “Mainnya entar aja. Nah, sekarang ma’am dulu!”

Dan dengan gerak kasar pembantu wanita itu menyuapi bubur ke mulut gadis kecil yang bakal kuasuh nanti. Tapi sedetik, bubur itu telah dimuntahkannya. Sebagian mengotori pakaian pembantu wanita itu. Sebagian lagi malah masuk ke dalam mangkuk bubur yang tengah digenggamnya.

“Eh, ma-maaf ya, Mbak. Anak ini, ya Gusti, nakalnya minta ampun,” sapa wanita itu ketika melihatku tersenyum-senyum ke arahnya.

“Ika. Panggil saja nama saya,” balasku setelah menganggukkan kepala.

“Ri-Rino! Yaya mau Rino!”

“Iya, iya. Ma’am dulu, tapi.”

Wanita itu masuk dengan tergopoh-gopoh. Aku lagi-lagi tersenyum. Kubayangkan hari-hariku yang repot dan menyebalkan. Tidak menyenangkan. Tapi mau apa lagi? Toh aku sudah berjanji sama Ayah untuk membimbing anak itu sebaik-baiknya.

“Mari masuk, Mbak….”

“Ika, Bu,” pintasku setelah wanita yang menjemput aku tadi bicara sesudah terdiam beberapa saat lamanya akibat ‘kejadian kecil’ barusan.

“Oh, iya, Mbak Ika.” Wanita itu mengangguk lugu. “Kamar sudah saya persiapkan. Di dalam. Kalau tidak senang atau bagaimana, tolong beritahu saya.” Dan dia menunjukkan sebuah kamar untukku sesampainya kami di ruang paling dalam rumah.

“Terima kasih, Bu.”

***

Selasa, 9 Juli 1996

“Yaya kok, nggak mau sekolah? Kenapa?”

“Nggak mau. Ibu Guru suka nyubitin paha Yaya!”

“Yaya nakal ya, sampai Ibu Guru marah?”

“Yaya nggak nakal, kok.”

“Habis, kok dicubitin sih?”

Anak itu tersenyum. Lebar. Ada bias nakal yang kutangkap pada sepasang bola matanya.

“Kenapa?” tanyaku mendesak. “Yaya nakal, kan?”

“Ah, nggak. Dita sendiri yang cengeng.”

“Memangnya kenapa?”

“Masak dijambak saja sudah nangis!”

Aku mengurut dada. Entah ada berapa Dita-Dita yang nangis akibat kenakalan Yaya. Entah ada berapa Dita-Dita yang ke sekolah lantaran takut sama Yaya.

Kemarin aku nyaris berputus asa dan angkat kaki saja dari rumah ini. Tidak pernah kubayangkan akan menghadapi anak senakal Yaya ini. Kenakalannya memang di luar batas kewajaran. Aku sampai tidak bisa mengerti bagaimana anak tujuh tahun seperti dia dapat….

Prang!

Comment