Bidadari Kecil

Foto: Istimewa

“Emang Kak Ika mau ngejual Yaya?” Yaya menengadah, menatapku takut-takut sesampainya kami di lantai empat mall.

“Kalau Yaya nakal!” jawabku cuek.

“Kak Ika nggak kasihan sama Yaya?”

“Anak nakal nggak pantas dikasihani.”

“Tapi….”

“Yaya suka pecahin gelas dan piring. Yaya suka nyiksa Rino – anjing peking piaraan. Yaya suka ngerepotin Bik Sum. Nggak mau sarapan. Nggak mau bobo siang. Nggak mau sekolah. Nah, Yaya nakal. Yaya….”

“Tapi Kak Ika….”

Kudamprat Yaya karena memintas kalimatku. “Dengar Kak Ika! Kalau Yaya nakal lagi, Kak Ika akan jual Yaya. Kalau masih tetap nakal, Kak Ika nggak segan-segan nyemplungin Yaya ke kali. Biar dipatuk dan dimakan sama ikan-ikan.”

“Dipatuk dan dimakan sama ikan-ikan?!”

“Ya.”

“Yang badannya gede?”

“Ya.”

“Yang giginya tajam-tajam seperti punya Rino?”

“He-eh.”

“Iihh….” Yaya bergidik. Mukanya mengerut. Tiba-tiba dadanya berguncang. Dia terisak. Pelan dan tertahan. “Semua nggak sayang Yaya. Mama, katanya mau beliin Yaya boneka Barbie, nyatanya nggak pernah kembali. Yaya dibo’ongin. Mama ke mana, sih? Mama nggak pernah pulang sampai sekarang. Padahal, Yaya sudah kangen sama Mama. Mungkin Mama nggak sayang lagi sama Yaya sehingga nggak mau pulang!” urainya, menggigit bibir bawahnya kemudian. “Papa juga mulai nggak sayang sama Yaya. Papa nggak mau diajak jalan-jalan lagi.”

Aku tercenung mendengar keluhan yang keluar dari bibir kecil itu. Rasa sebal dan kesalku setiap menyaksikan kenakalannya tiba-tiba berganti menjadi sebersit iba.

“Sekarang Kak Ika juga nggak sayang sama Yaya. Kak Ika bilang mau ngejual Yaya. Mau nyemplungin Yaya ke kali, jadi makanan ikan-ikan!” lanjutnya, masih terisak.

Aku tertawa dalam hati mendengar kalimatnya yang lugu begitu. Tapi tidak kugambarkan ke muka. Karena sedini mungkin aku harus bersikap tegas dan berwibawa di depannya. Kalau tidak, kelakuannya yang tak bisa ditolerir itu akan semakin menjadi-jadi. Aku tidak mau menjadi korban kenakalannya. Apa kata Ayah nanti bila sampai aku pulang dengan predikat kalah? Menyerah seperti kebanyakan pembantunya yang terdahulu! Uh, tidaklah ya!

“Sudah, sudah. Jangan nangis. Yaya nggak boleh cengeng,” kataku seraya menarik lengannya untuk meneruskan langkah kami yang tertunda di dekat pintu sebuah stan pakaian.

“Supaya Yaya nggak dijual?” Yaya bertanya cemas.

“Ya.” Kutahan tawa yang hendak menyeruak.

“Supaya Yaya nggak dicemplungin ke kali?”

“Hahaha.” Aku sudah tidak sanggup menahan tawa.

Comment