Bidadari Kecil

Foto: Istimewa

Jumat, 9 Agustus 1996

Tidak terasa sudah sebulan aku tinggal di rumah besar yang lengang ini. Kuakrabi sepotong hati yang kesepian. Sepotong hati yang harus kehilangan kebahagiaan dan kasih sayang sejati akibat perceraian orang tuanya. Kadang-kadang kudapati sepasang mata kecil itu berlinang air mata, memeluk lutut dan menerawangi langit gelap di luar jendela.

“Ada apa, Yaya? Kok, nggak bobo?” tanyaku prihatin setiap melihatnya begitu. Seperti malam ini juga.

“Yaya kangen sama Mama!” lirihnya.

Hatiku giris mendengar tangisnya. Pelan dan diam-diam. Dan kalau sudah begitu, maka kupeluk tubuh mungil itu kuat-kuat. Air mataku turut berlinang. Sebab aku pun merasakan hal yang sama. Kehilangan Ibu. Kehilangan orang yang kami cintai.

“Kak Ika….”

“Hm, ada apa, Sayang?”

“Apakah Kak Ika sayang sama Yaya?”

“Tentu saja Kak Ika sayang sama Yaya. Kak Ika sayang banget sama Yaya.”

“Betul?” Mata kecil itu membola. Ada binar bahagia di sana.

“He-eh. Nggak percaya?”

Yaya menggeleng. Secuil senyum merekah di bibirnya. Dia mempererat rangkulannya di perutku.

“Tapi….”

“Tapi apa?”

“Kata Bik Sum, lusa Kak Ika akan meninggalkan Yaya. Pulang. Benarkah?”

Pertanyaan itu menikam ulu hatiku. Memang ada saatnya untuk berpisah, Yaya. Karena Kak Ika masih sekolah. Perlu bantu-bantu Ayah di rumah. Perlu ngerawat Ica dan Adi yang masih kecil-kecil.

Aku pingin bilang begitu, tapi rasa-rasanya ada sesuatu yang mengganjal tenggorokanku. Dan membuatnya sakit bila mencoba mengeluarkan sepatah kalimat.

“Benarkah, Kak Ika?”

“Kak Ika akan menjenguk dan main ke sini lagi, kapan-kapan.”

“Nggak. Kak Ika tinggal terus bareng Yaya. Yaya minta ke Papa nanti!” Yaya membuang mukanya. Dilepasnya pelukannya dari tubuhku. “Yaya nggak punya siapa-siapa lagi selain Papa.”

“Kan, ada Bik Sum?”

“Nggak mau. Pokoknya Yaya mau Kak Ika.”

“Kenapa?”

“Karena Yaya sayang sama Kak Ika!”

Aku menarik napas. Panjang-panjang. Gadis kecil itu ternyata sangat mencintaiku. Aku tidak tahu harus berbuat apa.

“Kak Ika jangan pergi, ya?” Yaya mulai menangis. “Nanti Yaya bakal sendiri lagi. Nggak ada yang menemani Yaya bobo lagi. Yaya takut sendiri.” Yaya sudah meraung-raung. “Yaya takut. Banyak setan.”

“Huss,” kuraih kepala Yaya dan menempelkan telunjukku ke bibirnya. “Kan, Yaya punya Tuhan. Kak Ika setiap malam ngajar Yaya berdoa untuk apa? Yaya hapal kan, doa sebelum tidur?”

Ada anggukan pada kepala kecil itu.

Comment