Merah Harga Diri

Foto: Istimewa

Merah Harga Diri
Oleh Rahmat Taufik RT

MEDIAWARTA.COM – Saya baru saja hendak memungut stabilo yang terjatuh ketika Giyar muncul. Tanpa menegur, ia langsung menuju lemari dan membukanya dengan satu sentakan keras. Dan hanya tiga detik sesudahnya, seluruh isi lemari sudah terobrak-abrik.

“Kamu mencari apa?” tanya saya akhirnya, sungguh tak pandai memendam rasa ingin tahu.

Giyar menoleh. Pada saat itu saya baru menyadari, betapa lainnya ia dibanding Giyar yang karib dengan hari-hari saya. Penampilannya yang tenang kini entah kemana, berganti kekalutan yang menggelepar jelas di permukaan wajahnya.

“Badik!” ia menyergah datar. “Kamu lihat?”

Saya terkesima. Mendadak saja naluri saya membisikkan, ada yang tak beres kali ini. Saya tatap dia, mencoba menebak-duga rencana apa yang sedang bersemayam di benaknya. Tapi tak ada yang bisa saya temukan di situ, selain geliat kekalutan yang meliar.

“Kamu melihatnya?” tanyanya sekali lagi.

Sedetik, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Saya tahu di mana badik itu. Tetapi yang tidak saya tahu: untuk apa ia menanyakannya? Dan itu yang terpenting. Giyar menanyakan badik, ini adalah sesuatu yang luar biasa bagi saya. Selama ini, jangankan menanyakannya, mengurusi badiknya yang kadang ia geletakkan begitu saja pun sering ia lupa. Tetapi sekarang ia menanyakannya!

“Untuk apa?” tanya saya balik bertanya.

Giyar tak menjawab. Kembali melanjutkan kesibukan, menggeratak seisi kamar dalam gegas yang riuh. Laci-laci dibuka tanpa sempat ditutup lagi, buku-buku diubek-ubek, kasur digulung.

Saya hanya bisa menatapnya tanpa mampu mencegah. Baru ketika ia menarik sebuah kursi, saya tercekat. Saya bisa menebak untuk apa kursi itu. Giyar hendak mengambil koper tua di atas lemari. Badik yang dicarinya memang mendekam di situ!

“Kamu mesti jelaskan dulu untuk apa badik itu!” tuntut saya.

Giyar menunduk. Tangannya yang lepas dari cekalan saya, mengusap rambutnya. Setelah itu, bersamaan embusan napasnya, diempaskannya tubuhnya ke atas tempat tidur yang acak-acakan.

“Lagi-lagi dia merendahkan saya,” gumamnya. Saya mengerutkan kening, tak tahu kemana arah kalimatnya menuju. “Saya akan balas dia. Saya akan bunuh dia.”

Kata-katanya yang pelan dan lirih mengejutkan saya. Giyar ingin membunuh?! Lelucon penawar gerahkan ini? Saya sangsi, tetapi menyaksikan riak wajah Giyar yang kelam, suatu kesimpulan terbit di hati saya: Giyar tidak sedang bercanda. Tetapi untuk mempercayainya?

“Kamu sedang bergurau kan, Yar?” tanya saya memancing. Seringai saya mekar, sebelum gelengan getas Giyar memaksanya menguncup.

“Siapa yang ingin kamu bunuh?” Saya bertanya lagi, berusaha untuk tetap tenang meski tak urung ketegangan mulai mencekam saya.

“Rudi!” Giyar menjawab singkat.

Comment