Ornamen Musim Salju

Foto: Istimewa

“Kau tidak bersikap sebagaimana orang yang akan pergi?” Kukuh menjejas ceritanya tentang musik Jerman yang merupakan perpaduan khas antara pandangan yang kosmopolitan, semangat, dan kemahiran. Lelaki itu meraih bahunya, tidak rela dengan jarak yang dibentangnya. “Kau tidak berucap sesuatu?” suara Kukuh begitu pedih dan garang.

Sheli menggeleng. Gagah.

“Aku suka kamu. Berjanjilah sesuatu untukku!” kesah lelaki itu galau.

Sheli meregang. Jemarinya gigil dalam genggaman. la menyimpan harapan yang sama, meski menyembunyikannya ke relung batin terdalam. la yakin, perasaannya kali ini bukan untuk saling memiliki.

Kukuh masih memeluknya, dan menyentuh matanya dengan sudut bibir. “Juga tak menangis?”

Sheli menggeleng lagi. Lebih gagah.

“Matamu basah,” suara Kukuh jauh. Lantas tertawa kering. “Ah, kau kelilipan …”

Malam memanjang, dan menyandingkan bulan di dekat bintang. Sheli berpaling. Langkahnya oleng menyentuh pintu kaca. la menuju pesawat yang akan membawanya ke Jakarta, tanpa menoleh. Tanpa menoleh.

***

… bagai mimpi, Sheli. Aku menyaksikan sebuah peristiwa yang mengguncang dunia. Hasil pertemuan di Dresden itu telah menampakkan hasil nyata. Orang-orang dari RDJ-Sachsen dan Mecklenburg, Thuring serta Brandenburg, menikmati bepergian setelah rezim komunis mengurung mereka selama 28 tahun dan memperlakukan mereka bagai bayi. Aku suka mengkhayal, suatu ketika kau ada di sampingku dan turut menyaksikannya. Kita berdiskusi lagi seperti dulu….

Surat ke-32 dari Kukuh sejak perpisahan mereka dua tahun lalu di Frankfurt Main. Tentang tembok Berlin yang runtuh. Sheli mengenang perpisahan itu dengan menatap tumpukan surat dan postcard dalam bauran rasa yang asing. Tekadmu sekukuh namamu, kesahnya di batin. Sementara apa yang kulakukan di sini? Menertawai dongengmu?

Cinta, kesetiaan, dan kepercayaan; tiga miliknya yang telah lama raib. la lenyap bersama sosok Bim, lelaki yang pernah menyodorinya pemandangan biru saat Sheli menemuinya di Jakarta hampir tiga tahun silam. Bim tengah menyatakan rasa dengan caranya sendiri: mengecup Karina di pesta ulang tahun gadis itu, persis saat Sheli tiba di ambang pintu rumah bidadari Bim itu.

Pemandangan itu merajam, dan berceceran sukmanya seketika. Surpraisnya untuk Bim, yang disusun dari material bernama kangen runtuh kala menangkap mata asing dan bibir penuh geragap dari lelaki yang pernah menjanjikan banyak hal kepadanya. Sheli datang tidak pada timing yang menyenangkan. la muncul dengan tungkai kaki, jemari, dan hati yang sama patahnya. Dan Sheli hanya mampu menyekap isaknya dengan kerongkongan yang panas….

“Makassar-Jakarta, jarak yang jauh untuk sebuah hati yang rapuh, Sheli! Maafkan saya…,” mata hazel cokelat Bim tak lagi mampu menenteramkan tangisnya.

Dan, aku yang bodoh! Ratapnya sakit. Surat-surat Bim yang setia melayang ke Makassar tak berbeda dengan cerpen-cerpen picisan yang kerap dibacanya di majalah. Dongeng Bim tentang cinta telah mengecohnya. Kalimat-kalimat yang diterima dengan keyakinan penuh itu membuainya, menyulut keberaniannya untuk membangun penantian, sekaligus mendudukkan cinta dan kesetiaan pada tempat teragung.

Semua lantak dan luluh…, gumamnya patah. Tak sampai setahun setelah ia melepas Bim di Bandara Hasanuddin untuk melanjutkan kuliah ke Univesitas Indonesia.

Kalimat Bim pula yang dipindahkannya ke atas kertas untuk mengisi surat yang dikirimnya untuk Kukuh. “Indonesia-Jerman, terlalu jauh untuk hati yang rapuh…,” tulisnya. Jika yang di Jakarta saja bisa menyeleweng, apalagi yang di Frankfurt sana?

Comment