Ornamen Musim Salju

Foto: Istimewa

Sheli mendengus. Lalu mengatup mata berdoa saat Lufthansa German Airlines mulai menjejak landasan. Sebentar kemudian, matanya tak lagi menangkap biru mayapada, halimun yang bergerak ke belakang lewat jendela pesawat. Ia kembali ke daratan Eropa, bertepatan dengan musim salju yang kembali bertamu.

Tak ada alasan untuk menolak tawaran nenek berlibur di kebun anggur lagi. Tiga tahun, waktu yang cukup untuk menyelami permainan lelaki tanpa harus sakit hati. Kendati, dalam ratusan hari-harinya itu, ada malam-malam tertentu di mana ia sulit memupus bayangan Kukuh. Terlebih saat tawa Meli dan lyan, pacar adiknya, mencecarnya setiap malam Minggu tiba. Jauh-jauh ia menyadari itu, dunia terlalu luas untuk diarungi seorang diri. Tapi Kukuh…, ia kawan lama! Hibur hatinya kemudian.

Benak Sheli kembali penuh dengan kisah-kisah musim semi pada sore-sore yang manis di sepanjang kanal yang mengelilingi Lubeck, membelah rentetan historis arsitektur kota itu, memuasi perasaan dengan pemandangan bangunan-bangunan yang berderet artistik. Kukuh pernah menjelaskan kepadanya gaya bangunan yang berkisah tentang zamannya itu.

“Gedung ini bergaya Renaissance. Yang itu Gotik dan Barock…,” ujarnya dulu.

Sheli tersenyum. Kukuh, gumamnya dalam dingin. la mempercepat langkah. Apartemen Kukuh nampak di ujung jalan. la harus bisa memaksa cowok itu meninggalkan kuliahnya di Frankfurt, dan mengajaknya bersama-sama berlibur ke Rhein dan Lubeck.

Di depan pintu, gadis itu tertegun. Ada getar serentak merembesi raganya. Masa lalu bersama Kukuh hadir mengepungnya: saat hatinya berdenyar ketika menampak sosok lelaki itu, saat ia terpuruk pada lindap bayangan mata hitam teduh milik Kukuh. Juga, saat terkenang pada malam-malam dinginnya yang sunyi di Makassar sana. Aku telah menipu diri sendiri…, akunya kemudian dalam mata basah.

Angin yang gelisah memagut tubuhnya yang hampir seluruhnya memutih oleh salju. Dirapatkannya jaket wol tebal untuk menyembunyikan tubuhnya yang ringkih. Sheli menguatkan hati. Bulan-bulan terakhir ia pernah begitu sibuk menjadi arsitek sebuah keyakinan: ia akan datang untuk nenek, untuk anggur-anggur di tepi sungai Rhein, untuk opera-opera Beethoven, untuk pergelaran musik klasik, untuk gedung-gedung kontemporer di pesisir Laut Baltik, untuk melihat keruntuhan tembok Berlin. Juga untuk seorang kawan lama bernama Kukuh. la percaya, rancangannya kini telah berwujud.

Sheli meraih handel pintu, tak terkunci. la menguaknya, nyaris tanpa suara. Seperti yang kerap dilakukannya tiga tahun silam selama berada di Frankfurt, sepekan sebelum terbang ke Jakarta. Dan ia tercengkam peristiwa di luar skenarionya. Ia memang berharap seorang gadis tengah dicumbu Kukuh di depan tungku perapian.

Sesaat, otaknya seperti berhenti bekerja. Sungguh, Sheli tidak bisa apa-apa. Ia ternyata belum siap sepenuhnya. Termasuk menerima kejadian luar biasa itu: mendapati Kukuh termangu memunggunginya, dengan jari-jari mengelus seraut wajah dalam bingkai foto. Dan potret berbingkai itu….

Diraihnya kursi untuk bertumpu. Tangan-tangan kokoh sigap menyambar tubuh menggigil yang limbung itu. Air mata yang telah lama mengendap, kini mengambang di pelupuk matanya. Kembara sunyinya mencapai batas penat.

“Aku selalu yakin, kau pasti datang…,” bisik Kukuh parau. Diciumnya rambut kelimis di depannya. Kening, mata, dan hidung Sheli mendadak dijalari rasa hangat. Suara Kukuh begitu dekat ditelinganya. “Aku tidak punya apa-apa selain hati untukmu, Sheli. Kau percaya jika cinta dan kesetiaan bukan soal jarak dan waktu? Bicaralah sesuatu untukku….”

Biodata Penulis:

Ryana Mustamin, lebih dikenal sebagai Ana Mustamin, lahir di Watampone. Penulis yang sangat produktif dan mencintai dunia teater ini, ajaibnya telah melahirkan puluhan cerpen yang telah dipublikasikan di majalah Anita Cemerlang pada saat masih SMP di era 1980-an. Bertumbuh di kota kelahirannya, ia pun aktif di dalam sanggar-sanggar seni dan teater di sana, menulis naskah drama, puisi, serta esai yang kerap dimenanginya dalam lomba. Bersama Rahmat Taufik RT, ia menjadi salah satu pengarang asal Watampone yang karyanya mewarnai majalah remaja nasional seperti Gadis, Anita Cemerlang, Mode, dan Ceria Remaja. Sekarang, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin (Unhas) ini menjabat Human Resources Director di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera Jakarta. Buku kumpulan cerpennya, Perempuan Perempuan sudah diterbitkan Penerbit Trizahbooks.

Comment