Pelangi di Pantai Senggigi

Foto: Istimewa

“Apa maksudmu, Re?” Sesuatu menggelepar di dada Egidia.

Re menghela napas. Memegang pundak Egidia. Ditegakkannya dagu gadisnya dengan lembut.

“Kita berpisah, Gi. Kita mengambil jalan sendiri-sendiri.” Sebuah helaan napas panjang mengempas dari rongga dada Re.

“Re? Sadar kan apa yang kamu ucapkan?” Dada Egidia serasa sesak. Sebuah beban menggelayut di sana.

Re menundukkan kepalanya.

“Setelah dua tahun kita membangun semuanya, kamu akan menghancurkannya dalam sedetik?” Egidia tak percaya kalimat yang didengarnya barusan keluar dari mulut Re. Seorang cowok yang dengan susah payah dirajutnya dalam hati, dari kikisan Sang Penggoda yang dari hari ke hari semakin banyak menguji ketulusan cinta seorang Egidia terhadap Re. Tetapi sekarang?!

Re masih menunduk.

“Aku betul-betul kecewa, Re.” Ada luka yang memaksa gadis itu menggigit bibirnya.

“Aku mengerti kamu kecewa. Tetapi nanti kamu akan tahu bahwa jalan ini adalah jalan yang terbaik buat kamu. Itu kulakukan karena aku sangat mencintai kamu, Egi,” bisik Re lembut setelah mengangkat kepala.

Sebuah sapuan halus hinggap di kening Egidia. Dan gadis itu terpuruk dalam pelukan dada bidang Re.

***

Debur ombak Senggigi merenggut semua episode di benak Egidia. Re adalah sosok nyata yang telah mengisi hari-harinya. Yang telah menghiasi hari-harinya. Yang telah membuat masa remajanya penuh warna. Tangis, tawa, rindu dan kecemasannya terhadap seorang Re, selalu melukis hari-harinya. Petualangan-petualangannya yang konyol dan kerinduannya yang tak beralasan terhadap alam, sering memenjarakannya dalam kecemasan yang sangat kental. Membuat nama cowok itu terpatri dalam di lubuk hatinya.

Senggigi adalah venus. Cantik dan menggoda. Pantainya yang landai, dipangku bukit-bukit kecil dan kelokan jalan mulus, dari hari ke hari membuat pesona Senggigi semakin memikat. Belum lagi kalau senja turun, sinar jingga dari ufuk barat dengan leluasa menjilati punggung nelayan dengan perahu tradisional yang ditambatkan di bibir pantai. Juga jerit bocah-bocah pantai yang bermain lepas, mengejar kepiting laut, memberi warna lain di pantai ini.

Mungkin hal itulah yang membuat ‘orang-orang berkantong tebal’ membekap Senggigi yang cantik ke dalam pelukan kavling-kavling bungalo yang kini menjamur di bibir Senggigi. Menyedihkan memang. Tapi itu hal yang sudah tidak asing lagi.

“Kita pulang Egi. Sudah tiga hari kita tinggal di pantai ini,” Fe, sahabat karibnya mengusik kebisuan gadis itu.

“Biarkan Re tenang di dunianya,” Fe berusaha merengkuh pundak Egidia.

“Ia pergi dengan beribu beban, Fe!” Kalimat Egidia terdengar masygul.

“Aku merasa gagal mengerti dunia Re, Fe.” Sesuatu mengembang di kelopak mata Egidia. Gadis itu menatap lurus ke hamparan permukaan pantai Senggigi.

“Sudahlah. Buanglah rasa bersalahmu itu, Egi.”

Comment