Pelangi di Pantai Senggigi

Foto: Istimewa

“Aku melarangnya ketika Re ingin pergi ke pantai ini, Fe. Seharusna aku tidak boleh melarangnya kemana pun ia pergi. Alam adalah sahabat Re yang sesungguhnya.” Ada isak tangis terdengar dari mulut gadis itu.

“Sudahlah, Egi. Lupakan. Semua sudah takdir. Kita hanyalah boneka, Egi. Lemah dan tak berdaya apa-apa bila sudah berhadapan dengan takdir.” Fe berusaha menghibur Egidia.

Ia mengerti perasaan Egidia sepenuhnya. Ditinggalkan seseorang yang sangat dikasihi, pasti membuat perasaan sahabatnya itu terpukul. Apalagi Re pergi begitu mendadak. Tergulung gelombang pasang di pantai Senggigi ini, ketika Re sedang terlelap dalam tendanya.

Kedua remaja itu tenggelam dalam kebisuan.

Mendadak gerimis mengguyur Senggigi. Kedua remaja itu tak juga beranjak dari bibir pantai. Ada satu hal yang ditunggu-tunggu selama tiga hari di Senggigi ini.

Dan harapan Egidia tak sia-sia. Ketika gerimis mulai mengguyur, dan sinar matahari masih tersisa, tiba-tiba sebuah lengkungan indah menggeliat dari balik awan. Menyodorkan warna indah sampai ke garis pantai.

“Lihat, Egi,” Fe berteriak sembari menunjuk semburat warna-warni yang dari detik ke detik semakin jelas. Membentuk selendang raksasa dengan tujuh warna sempurna.

Egidia menatap dengan mata nanar.

Senyum manis Re berkelebat di sela-sela pelangi. Kerinduan kepada Re menggumpal di dadanya. Matanya berkaca-kaca. Senyum manis itu terus menari-nari di pelupuk matanya.

Seperempat jam gadis itu larut dengan ilusinya. Ia merasa Re seperti hadir kembali. Menemaninya, melihat pelangi seperti dua tahun lalu di Pantai Anyer, saat untuk pertama kali saling dipertemukan.

“Kita ke Jakarta, Egi. Hampir seminggu lamanya kita meninggalkan bangku sekolah,” Fe tersenyum. Mengoyak nyanyian indah yang baru beberapa detik mengalun indah di dasar hatinya.

Pelangi yang indah itu kini telah tiada. Lenyap bersama hadirnya semburat kuning di sebelah barat.

“Ya, kita pulang, Fe!” Kalimat Egidia terdengar mantap. Ia banyak belajar dari Re tentang kehidupan. Pelangi adalah simbolnya. Tidak satu pun ada yang abadi di muka bumi ini. Egidia mengerti sepenuhnya akan keputusan Re yang dulu sempat membuatnya putus asa. Alam adalah cinta Re yang sesungguhnya. Bukan dirinya!

Biodata Penulis:

Mayoko Aiko, lahir di Wonogiri,16 Juni 1972. Suami dari Fiferawati Aiko serta ayah Gabrina Aiko dan Rayga Anandito Ramadhan Aiko ini, sudah gemar menulis sejak SMA. Karyanya bertebaran di berbagai majalah remaja seperti Hai, Gadis, Anita Cemerlang, Aneka Yess!, dan Planet Pop. Penulis berdarah Jawa-Jepang ini merupakan salah satu pengarang khas yang sering menelurkan karya bersetting Jepang. Tema cerpen maupun noveletnya terbangun lewat narasi dengan menggunakan bahasa baku dan eksklusif. Ia juga kerap menggunakan momentum tematis seperti isu HIV-AIDS, lingkungan hidup, kemiskinan dan rakyat kecil dalam karya-karyanya. Pernah menyabet Juara Harapan Tiga dalam ajang Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Anita Cemerlang 1993 lewat cerpennya yang berjudul ‘Bias Cinta Lintas Melawai’. Kini ia menggeluti dunia advertising sebagai script-writer dan membuka perusahaan biro iklan di Jakarta.

Comment