Salju di Kyoto

Foto: Istimewa

Salju di Kyoto
Oleh Amril Taufik Gobel

MEDIAWARTA.COM – Kyoto masih seperti dulu, saya bergumam dalam hati ketika menapak tilas perjalanan saya kembali ke kota kebudayaan di Negeri Matahari Terbit. Gedung kuno dengan ornamen yang sarat imajinasi kontemporer seperti Kuil Higashi Honganji, Sanjusangendo, Kiyomizu, dan Ryoanji, berpadu bangunan berarsitektur modern berlatar belakang perbukitan indah, terbentang di hadapan saya. Bau sake, kelezatan tempura, sukiyaki, dan yakitori yang khas seperti menusuk hidung saya. Melempar saya kembali pada kenangan lima tahun silam….

***

Saat salju turun bagai gumpalan kapas menyelimuti kota itu. Saya memandanginya penuh takjub dari jendela kamar di salah satu suite apartemen di pusat Kota Kyoto. Salju di mana-mana, di puncak bukit, di bubungan rumah hingga jalan dan trotoar. Suatu pemandangan yang sangat langka terjadi di Indonesia.

Di samping saya duduk Asako, gadis Jepang lulusan Harvard University yang jadi penerjemah dan pemandu saya selama mengikuti pelatihan di Jepang. Ia memandang saya dengan tatapan heran.

“Asako, salju itu indah!” Saya bergumam pelan tanpa melepaskan pandangan ke luar.

Asako tertawa geli. Dengan penuh ingin tahu dia juga mengarahkan pandangan ke luar. Wangi parfum Shisuedo-nya memenuhi udara.

“Anda lucu, Taufiq-san. Bagi saya turunya salju bukan sesuatu yang luar biasa,” katanya. Ia membalikkan badan dan berjalan mengambil minuman.

Saya tidak menanggapi kata-katanya.

“Anda mau sake, Taufiq-san?” Asako menawarkan.

Saya mengangguk perlahan. Dengan langkah ringan Asako lalu datang membawa dua cangkir sake. Ia mengangsurkan sebuah cangkir berisi sake kepada saya.

“Dozo, Taufiq-san. Anda ingin kita kampai untuk siapa, atau… apa?” Asako bertanya, memamerkan senyumnya yang menawan.

“Arigato gozaimas, Asako-san. Begini saja, kita kampai untuk keindahan salju dan keindahan… senyummu. Oke?” Saya menyarankan.

Pipi Asako memerah. Ia belum sempat menjawab ketika saya mengangkat cangkir sake sambil berseru. “Kampai! Untuk salju yang indah dan Asako-san!”

Asako mengikuti dengan gugup. Kami meneguk sake bersama. Hanya sekali tegukan. Sesudah itu kami saling pandang, lama.

Paras Asako berbeda dengan wanita Jepang kebanyakan. Ia memiliki mata yang jernih, tidak terlalu sipit, dan kulit yang cenderung kecokelatan. Tapi, di situlah daya tariknya!

Saya belum terlalu lama mengenalnya. Selama enam bulan waktu pelatihan keteknikan dan manajemen yang diselenggarakan perusahaan tempat saya bekerja, Asako dan dua orang temannya ditugaskan sebagai penerjemah bahasa Jepang.

Berhubung di antara kami yang berjumlah lima belas orang, tak seorang pun bisa berbahasa Jepang, sebaliknya tak seluruh pengajar kami dapat berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia.

Comment