Ini Sebabnya Jadwal Lebaran An Nadzir Selalu Berbeda dengan Pemerintah

MEDIAWARTA.COM, MAKASSAR – Saat ditemui belum lama ini, Pimpinan Jemaah An Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulsel, Ustaz Lukman, mengatakan pada awalnya kehidupan penduduk di Kelurahan Mawang, Gowa lazimnya sama dengan desa-desa lainnya.

“Artinya, tidak ada perbedaan antara masyarakat Islam dari kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), terutama saat melaksanakan salat dan ibadah-ibadah di Ramadan sebagaimana pada umumnya (sebelum masuknya An Nadzir),” terangnya.

Pada 1998, masuklah seorang tokoh spiritual yang bernama Syekh Muhammad al-Mahdi Abdullah atau Kyai Haji Syamsuri Abdul Madjid, melakukan tabligh akbar di beberapa daerah di Tanah Air. “Ia datang dari Banjarmasin dan sempat mendirikan Pondok Pesantren Rabiatul Al-Adawiyah di Dumai, Kepulauan Riau. Oleh karena itu, alirannya (An Nadzir) sudah dimulai di Dumai Kepulauan Riau,” papar Lukman.

Lukman menjelaskan, saat melakukan tabligh akbar di beberapa tempat di Sulsel, Kyai Syamsuri mendapat banyak simpati dan pengikut, di antaranya Ustaz Rangka dan ia sendiri. Dari sinilah penyebaran aliran An Nadzir mulai berkembang di Sulsel, khususnya di Gowa.

“Kyai Syamsuri banyak memperoleh ilmu di Madinah, setelah dari Madinah ia ke Malaysia sehingga jemaahnya juga banyak terdapat di sana. Bahkan, ada juga warga Singapura yang menjadi jemaahnya. Setelah dari Malaysia, Kyai Syamsuri ke Dumai Kepualuan Riau. Di Dumai Kepulauan Riau juga ada pengikutnya, namun tidak jelas berapa jumlah pengikut Kyai Syamsuri,” ulas Lukman.

Setelah dari Dumai Kepulauan Riau, Kyai Syamsuri datang ke Sulsel, khususnya Desa Mawang, Kecamatan Somba Opu, Gowa. “Saat itu, jemaah An Nadzir masih berstatus jemaah pada umumnya, masih dari kalangan  Muhammadiyah dan NU. Namun, perlahan Kyai Syamsuri memaparkan inti alirannya yaitu mengenal (percaya) Allah SWT, mengenal Rasulullah SAW, dan mengenal diri sendiri,” beber pria dengan tipikal pakaian hitam-hitam ini.

Lukman menambahkan, pada dasarnya adalah syahadat yang merupakan pengakuan dan kesaksian setiap manusia, ‘Tiada Tuhan Selain Allah’. “Ini artinya mengerjakan segala sesuatu yang diperintah dan tidak melakukan apa yang dilarang Allah SWT. Selain itu, juga bersaksi dengan lisan ‘Muhammad adalah utusan Allah”, yaitu meyakininya dengan cara melaksanakan apa yang menjadi lisan Rasulullah melalui hadis dan melaksanakan apa yang menjadi sunnah melalui perbuatan Rasulullah, maka itulah diri kita sebagai hamba Allah dan umat Muhammad,” imbuhnya.

Berdasarkan Aliran tersebut, maka An Nadzir melakukan segala aktivitasnya sesuai Alquran dan hadis, serta sesuai apa yang menjadi perbuatan Nabi Muhammad, termasuk perihal waktu pelaksanaan salat.

“Mengenai waktu pelaksanaan salat, An Nadzir mempunyai rujukan sesuai fenomena alam, bukan melalui jam sebagai penunjuk waktu karena tidak ada dalil yang mengatakan, waktu melaksanakan salat harus dilihat dan diukur dengan jam sebagai alat pengukur waktu. Yang ada adalah alat pengukur bayangan,” tutur Lukman.

Oleh karena itu, aliran yang dibawa Kyai Syamsuri sangat meyakinkan dirinya dan menjadikan jemaahnya di Gowa semakin bertambah. Bahkan, menyebar di provinsi-provinsi lain seperti Jakarta, Riau, Medan, Bogor, Batam, dan lain-lain.

Aliran An Nadzir, sebut Lukman, selain berkembang di Gowa, juga tersebar di seluruh Gowa dan sekitarnya, seperti Palopo, Maros, dan Bone.

“Oleh karena itu, jemaah An Nadzir terbagi menjadi dua yaitu jemaah Mukim dan jemaah Non-Mukim. Jemaah Mukim maksudnya jemaah yang bermukim di sekitaran pondok dan markas (Mawang, Gowa), sementara jemaah Non-Mukim adalah jemaah yang berada di luar pondok dan markas, tetapi ketika pelaksanaan salat Jumat, semua jemaah melaksanakannya di Markas Desa Mawang,” tutupnya.

Nisa Nasifah/Foto: Effendy Wongso

Comment