Sedap Malam

Foto: Istimewa

“Ayo bunyi lagi,” harapku dalam hati.

Tidak ada suara.

“Ayooo….” Kini kuucapkan sambil menatap ke wajahnya.

“GRROOOKKKK!” Suara yang melegakan.

Cinta.

Mungkin.

***

Cinta terakhir. Kutengokkan kepala ke kanan. Bukan dia. Dia hanya suami. Kutengokkan kepala ke kiri. Berharap menemukan wajah tampan yang kuharapkan. Tapi ia sudah menghilang. Ditelan bumi. Sudah terlalu lama, dan sekarang bukan saat yang tepat untuk mengingatnya. Tapi saat lelaki di sebelah kanan MUNGKIN mencintaiku, lelaki tampan yang tidak ada di sebelah kiri SANGAT mencintaiku.

Cinta tidak harus memiliki. Kalimat paling menyebalkan yang dua tahun lalu jadi makananku setiap hari. Ibu, ayah, sahabat, bibi sampai peramal kartu tarot, semua hanya bilang, “Cinta tak harus memiliki”.

Memang tak harus, tapi aku ingin. Sungguh-sungguh ingin. Tapi si Tampan yang tidak ada di sebelah kiri memilih untuk pergi. Dengan sepatu lars dan topi baret ia membela perdamaian, atas nama Ibu Pertiwi. Mari angkat topi, karena ia tidak kembali. Kini atau nanti.

Mataku mulai terasa berat dan sepat. Ngilu itu terasa lagi. Sial, pantas saja mataku berat. Mereka juga sembap. Kutengokkan kepala ke kanan. Masih punggung. Paling tidak, ia tidak melihat air mata yang mengalir turun. Mungkin sebaiknya lain kali ibu jangan mengadu kepadaku saat ayah memberi punggung. Mungkin punggung itu butuh air mata. Mungkin hati di balik punggung akan mendengar dan mungkin membuatnya terdorong untuk kembali berhadap muka dengan perempuan yang tidak pernah berhenti memujanya selama tiga puluh tahun. Mungkin.

Lelaki terakhir. Kukecup lembut rambut lelaki di sebelah kananku. Tetes terakhir. Cukup. Kuseka air mata. Kamar pengantin ini begitu wangi. Melati, bukan sedap malam. Mungkin aku harus puas dengan melati. Atau mawar kuning. Kupandangi cincin di jari manisku. Paling tidak ia mencintaiku. Paling tidak ia tidak akan memunggungiku. Mungkin. Kini aku harus puas dengan “mungkin”. Mungkin aku akan belajar mencintainya dan mungkin aku akan menangis jika suatu hari ia memunggungiku. Mungkin aku akan berhenti bekerja dan mengorbankan seluruh kehidupanku. Tapi bukan karena lelaki di sebelah kananku memintanya.

Tidak. Tidak akan pernah karena dia, tapi karena kamu. Belahan jiwaku. Ya, aku ingin melakukannya untuk kamu. Kamu yang enam bulan lagi akan jadi bagian terindah dari duniaku dan (mungkin) lelaki di sebelah kananku. Kamu yang suatu hari nanti akan merasakan malam yang sedap. Kamu yang tak akan pernah aku punggungi. Kamu yang akan selalu kulindungi. Walau sesekali aku akan kecolongan karena dunia mencurangiku, dan oleh karenanya akan kamu rasakan patah hati, tapi tak mengapa, pada akhirnya kamu akan temui yang sejati. Pasti. Dan bila itu terjadi, aku akan rasakan bahagia, lebih dari semua perempuan yang terberkati.

Keinginan terakhir. Untuk malam ini, paling tidak. Aku ingin bisa mendekapmu, mungil. Sungguh, kamu satu-satunya yang aku nanti. Sampai jumpa enam bulan lagi, Nak!

Kita akan buat dunia ini kembali penuh warna-warni.

(Congratulations, sahabatku tersayang…. Selamat datang, mungil….)

Biodata Penulis:

Andini Haryani, lahir di Jakarta, 7 Desember 1982. Meskipun piawai menulis, tetapi selama ini karya-karya fiksinya jarang dipublikasikan ke media massa, kecuali kepada orang-orang terdekat atau dalam blog pribadinya yang hanya ditujukan bagi kepuasan diri sendiri. Di 2005-2006, ia pernah bertugas sebagai reporter majalah Tamasya di Jakarta, kemudian memutuskan untuk menjadi penulis lepas terkait wisata, baik untuk majalah atau kebutuhan korporasi. Beberapa majalah yang pernah memuat tulisannya adalah Fashionbiz, iTuner, Agro Observer, Time Place, dan Gatra Living Plus. Andini sangat mengagumi karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya, Pramoedya menginspirasinya, membuat ia ingin menulis dan tidak pernah berhenti membaca.

Comment