Semangkuk Acar untuk Tuhan dan Cinta

Foto: Istimewa

“Tapi saya tidak ingin menjawab ini sendirian. Saya ingin mencarinya bersama-sama. Anda setuju?” ucapku dengan sikap tubuh yang seolah hendak mengambil ancang-ancang.

Wartawan itu terkesiap. Tak siap. Namun rasa penasarannya terusik, dan ada keinginan kuat untuk mempertahankan reputasinya sebagai sang penanya brilian. Akhirnya, ia mengangguk setuju.

Aku lantas menyambar mangkuk berisi acar, mencomot dua bawang merah utuh, dan memberikan satu butir kepada wartawan itu. “Ayo, kita kupas. Pakai kuku.” Dan tanpa menunggu, dengan semangat dan giat aku mulai mengupas.

Meski ragu, si wartawan mulai ikut. Mukanya tampak enggan dan berkernyit-kernyit tanda tak rela.

“Ayo. Terus, sampai habis.” Sesekali aku mengingatkan, karena sering kali dia berhenti atau melambat.

Demikianlah kami berdua, dengan mata mengerjap-ngerjap perih, mengupasi bawang dengan kuku yang akhirnya jadi lebih mirip mencacah, dengan serpih-serpih bawang yang berantakan mengotori meja. Dan akhirnya kami berhenti ketika serpih terakhir sudah terlampau kecil untuk bisa dikupas.

Berlinangan air mata, yang jatuh bukan karena duka atau suka, aku pun berkata: “Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa.” Sambil terisak, yang bukan karena haru bahagia atau haru nelangsa, lagi aku berkata: “Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, dan bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban.”

Ditandai air mata “cinta” yang menghiasi pipi kami berdua serta aroma “tuhan” yang meruap segar dari kuku, wawancara siang itu usai.

Artikel itu kemudian terbit. Tanpa baris-baris kalimat. Hanya gambar besar semangkuk acar bawang. Dan mereka yang membacanya menyangka bahwa itu resep afrodisiak. Mereka lalu melahap semangkuk acar bawang, bercinta, sambil terus bertanya-tanya: apa itu cinta? Apa itu Tuhan?

Biodata Penulis:

Dewi Lestari, lengkapnya Dewi Lestari Simangunsong, lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Sebelum Supernova keluar, tak banyak orang yang tahu kalau penulis yang akrab disapa Dee ini telah sering menulis. Tulisannya sudah tak terbilang diterbitkan berbagai media nasional. Salah satu cerpennya berjudul ‘Sikat Gigi’ pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen untuk kalangan sendiri. Pada 1993, ia mengirim tulisan berjudul “Ekspresi” ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis. Ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul “Rico the Coro” yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika masih menjadi siswa SMA 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah. Saat ini, Dewi Lestari merupakan salah satu sastrawan terkemuka yang dimiliki Indonesia. Novelnya, Supernova juga merupakan salah satu karya paling fenomenal yang pernah ada di Tanah Air.

Comment