Surga dalam Dekapan

Foto: Istimewa

Sepertinya Chris pun sudah tak lagi ingin mengatakan apapun. Dia tahu aku bersamanya. Tidak membencinya. Dia kecup dahiku dan memelukku. Kami berhenti bicara. Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Bahasa tidak lagi cukup menjadi getaran yang membuat kami satu atau berbeda. Aku melihat diriku di matanya dan dia ada dalam mataku. Aku tidak butuh apa-apa lagi. Tidak juga ruang untuk sebuah penyesalan atau rasa bersalah.

Malam itu kami terus berpelukan. Saat udara malam terasa semakin dingin, kami masuk ke kamar dan terus berpelukan tanpa suara. Kalau ada yang bertanya surga ada di mana, maka tanpa ragu aku akan menjawab, “Ada di sini. Di pelukan pria yang tak perlu kata-kata untuk membuatku merasa.” Sungguh, malam itu aku hanya ingin bumi berhenti berputar dan membiarkannya menjadi milikku seseorang. Akhirnya aku merasakan kupu-kupu berterbangan di perutku. Geli. Geli yang sangat menyenangkan. Ah, aku ingin selamanya begini.

Namun hati nurani dan kejujuran rupanya memiliki kekuatan lebih dashyat dari hasrat untuk mencinta dan dicinta.

Dalam keterburu-buruan, Chris menyelesaikan penjelasan yang dari tadi nampaknya ingin dia akhiri, “ I have an early flight to Bangkok tomorrow. I would only be gone for a week, but…..”

Akhir yang menggantung dan aku tahu apa yang akan dia katakan, “But, it may change a lot of things. Right, Chris? It may let us hold each other like this every night or even draw that solid line between us.”

Chris hanya mengangguk perlahan dan mendekapku lebih erat. Sudah kukatakan, kata-kata adalah ujung tombak kehancuran. Namun diam adalah kematian yang tak berujung. Tak ada yang lebih baik.

Keesokan paginya aku bangun tanpa Chris di sisiku. Harumnya masih menempel di sekujur seprai tempat tidur dan aku biarkan diriku tenggelam dalam harapan yang ringkih. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tak berani berharap dan tiada lagi kupu-kupu berterbangan dalam perutku. Sebuah surat tergeletak di sisi tempat tidur. Tulisan tangan Chris.

My Dearest,
Let’s not talk. Let’s just wait.
Let’s not define. Let time tells.
I will see you in a week.
I don’t know what will happen, but you are my truth and I will see you again.
PS: How come you smell so good after an all night party?

Chris

***

Chris pulang seminggu kemudian.

Kami bertemu. Kami berpelukan dan membiarkan air mata membasahi pipi. Tak ada yang perlu dikatakan. Aku tahu yang terjadi. Aku tahu apa yang telah dipilihnya dan dia pun tahu apa yang telah aku pilih. Kini aku hidup dengan pilihanku dan aku tak pernah menyesalinya.

Sesekali aku menengok ke belakang dan bersyukur. Aku rasakan tatap yang penuh makna, dekap yang penuh rasa. Aku telah menunggu dan kemudian mendefinisi. Ini kisahku. Biru dalam balutan sendu dan jingga dalam balutan rona. Mari ikut tertawa, karena cinta perlu dirayakan.

(Buat Shani, sahabatku tersayang, yang membuatku ingin kembali menulis tentang cinta. Thank you, my dearest….)

Biodata Penulis:

Andini Haryani, lahir di Jakarta, 7 Desember 1982. Meskipun piawai menulis, tetapi selama ini karya-karya fiksinya jarang dipublikasikan ke media massa, kecuali kepada orang-orang terdekat atau dalam blog pribadinya yang hanya ditujukan bagi kepuasan diri sendiri. Di 2005-2006, ia pernah bertugas sebagai reporter majalah Tamasya di Jakarta, kemudian memutuskan untuk menjadi penulis lepas terkait wisata, baik untuk majalah atau kebutuhan korporasi. Beberapa majalah yang pernah memuat tulisannya adalah Fashionbiz, iTuner, Agro Observer, Time Place, dan Gatra Living Plus. Andini sangat mengagumi karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya, Pramoedya menginspirasinya, membuat ia ingin menulis dan tidak pernah berhenti membaca.

Comment