Waktu Nayla

Foto: Istimewa

Memastikan pendingin ruangan belum saatnya dibersihkan. Membayar iuran telepon dan listrik bulanan. Memberi makan ikan. Memberi peringatan berkali-kali kepada pembantu yang tidak juga mengerjakan perintah yang sudah diinstruksikan. Mengikuti senam seks dan kebugaran. Menjadi pendengar yang baik bagi suami yang berkeluh-kesah tentang pekerjaan. Memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan dalam sebulan. Menyimpan kekecewaan ketika anak sudah tidak lagi mau mengikuti nasihat yang seharusnya diindahkan.

Dan masih saja ada yang kurang. Masih ada saja yang tidak sempurna. Sarang laba-laba di atas plafon. Terlalu banyak menggunakan jasa telepon. Buah dada yang mulai mengendur. Vagina yang tidak lagi lentur. Terlalu letih hingga tidur mendengkur. Seragam sekolah yang luntur. Kurang becus mengatur keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang peka. Kurang perhatian. Kurang waktu…. Waktu…. Waktu…. Waktu…. Waktu…?!

Bahkan Nayla merasa sudah tidak punya waktu untuk sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama teman-teman. Tidak belanja perhiasan. Tidak pergi ke kelab malam. Tidak dalam sehari membaca buku lebih dari dua puluh halaman. Tidak lagi nonton film layar lebar di studio Twenty One. Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu merupakan kesenangan. Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar.

Ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin mengatakan ia senang bercinta dengan posisi dari belakang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin berhenti minum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda, dan beruang masing-masing satu pasang. Ia ingin makan soto betawi sekaligus dua mangkuk besar. Ia ingin berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan waktu malam.

***

Apa yang sedang mengkhianati dirinya hingga ia merasa sama sekali tidak bersalah atas debaran di dadanya yang begitu memukau? Apa yang sedang memberi pengakuan sehingga ia merasa begitu lama membuang-buang waktu? Apakah hidup diberikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berbuat baik?

Dan mengapa pertanyaan ini baru datang ketika sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan? Mungkin hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bahan bakar. Ketika sang pengendara sadar bahan bakarnya sudah mulai habis, ia baru mengambil keputusan perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang perjalanan, untuk sampai ke tujuan yang diinginkan.

Nayla memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali tidak sempat ia lakukan, sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.

Biodata Penulis:

Djenar Maesa Ayu, lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Penulis ini memiliki daya magis yang luar biasa dalam setiap karya yang dihasilkan. Putri almarhum Arifin C Noor, sutradara ternama Indonesia ini merupakan salah seorang sastrawan terbaik dan terkemuka di Indonesia. Novel maupun cerpennya selalu menghipnotis pembaca, bertema kuat, dan fenomenal. Sebut saja, ‘Mereka Bilang Saya Monyet (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu)’, ‘Waktu Nayla’, dan masih banyak karyanya yang monumental dan sampai kini dibicarakan dalam forum sastra dalam negeri maupun luar negeri. Baginya, menulis merupakan soulmate dan tak dapat dipisahkan dari raganya. Ia kerap mendapat penghargaan seni dan sastra, di antaranya Penulis Perempuan Terpuji dan Cerpenis Terbaik dalam Antologi Cerpen Kompas, dan masih banyak penghargaan lainnya.

Comment