Guruji

Foto: Istimewa

Keterhubungan kami sudah sampai pada level telepatik. Ari selalu percaya aku mampu tahu isi hatinya tanpa perlu komunikasi verbal. Ia lupa, mengetahui tidak selalu berarti paham dan sepakat. Aku tak pernah memahami apalagi setuju atas kepergiannya. Dan lantas ia mengharapkanku rela? Let go, let flow, katanya satu hari, saat bertemu tak sengaja di restoran vegetarian langganan kami. Tanpa bisa menjelaskan lebih rinci. Saat itu, aku makan sendirian dengan baju hitam-hitam. Dia ditemani lima belas orang berbaju putih yang semua wajahnya bercahaya akibat rutin meditasi.

Inilah misteri yang perlu kujawab, yang menjadi motor penggerak hidupku setiap hari sejak Ari pergi: apakah kerelaan bisa lahir tanpa adanya perkawinan lebih dulu antara memahami dan menyepakati? Ari berubah menjadi hantu dalam rumahku, hantu dalam hatiku. Semua tentangnya kudapat dari tangan kedua; cerita orang-orang, artikel majalah, carikan surat kabar. Semua tentangnya tiba kepadaku dalam bentuk rekaman dan bayangan.

Mengikuti pelatihan di padepokannya adalah perjudianku yang terakhir. Upaya maksimalku untuk menjawab teka-teki yang ia tinggalkan bersama helaian anak rambut di bantal. Sungguh aku tidak peduli apa yang kupelajari seminggu ini. Aku hanya ingin mencari Ari, plasentaku, dalam wujud manusia yang mereka sebut Guruji.

Setiap malam dalam sepekan ini aku pulang dalam tangis tak terkendali. Ari sepertinya memang sudah tidak ada. Manusia kurang manusia bergelar Guruji itu bukan dia. Jadi, haruskah kerelaan ini kulahirkan paksa tanpa adanya benih pemahaman yang lebur bersama kesepakatan? Bagaimana mungkin hidup bisa begitu tidak alamiah? Setiap malam aku mengeluarkan sehelai plastik dari laci meja riasku dan bertanya-tanya, kapankah bisa kulepaskan benda itu ke tempat sampah? Anak rambutnya, yang kukumpulkan dengan pinset dan kusimpan setahun lebih sudah. Bagian nyata dari Ari yang kini punah.

“Apa yang kamu inginkan dari aku, Ari?” Guruji bertanya layaknya kepada anak yang memelas minta mainan.

Aku mencoba bertelepati, dan rasanya seperti menabrak dinding. Aku terus mencoba, dan mencoba, hingga mataku berkaca-kaca. Bahkan ketenangannya meluruhkan kemampuanku bicara. Siapa kamu? Siapa kamu? Aku berteriak-teriak dalam hati. Air mata mulai berlinangan di pipiku. Kembali aku menangis tanpa isak, hanya banjiran air yang dipompa mata tanpa bisa distop. Bedanya, kini aku menangis tidak hanya bertemankan plastik berisi rambut, melainkan di hadapan si empunya rambut yang sudah menggunduli kepalanya licin seperti biksu. Dia, yang dulu sebulan sekali creambath di salon, kini tak lagi menyentuhkan tangannya untuk bersalaman.

Guruji yang sejak tadi menatapku dengan datar mulai mengerdip, beberapa detik ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Hatiku seketika melonjak, dan tanpa berpikir kurengkuh wajahnya, kupelototi kedua matanya, “Ari? Apakah itu kamu?”

Sesaat kutemukan gejolak yang kukenal. Sesaat kutemukan jejak emosi. Sesaat dia kembali menjadi cerminku. Namun seperti badai yang reda seketika oleh tongkat ajaib, cepat ia kembali tersenyum tipis, dan dengan gerakan tenang terkendali melepaskan tanganku yang menangkupi wajahnya.

Comment