Guruji

Foto: Istimewa

Guruji
Oleh Dewi Lestari

MEDIAWARTA.COM – Ada yang janggal dari wajahmu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Jejak cambangmu yang kehijauan setelah habis bercukur. Itu aneh. Kulitmu bening bersemu merah seperti bayi, bibirmu merah berkilap seperti dioles gincu, dan kacamata itu hadir sedemikian rupa membuatmu seperti anak baru lulus sekolah dasar. Kamu tak seharusnya memiliki cambang. Aku yang lebih pantas. Tapi hidup terkadang buta menentukan siapa yang layak dan tidak. Kamu selalu membuatku merasa kurang perempuan.

Ada yang mengganjalku sejak dulu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Dulu aku menduga kamu banci. Kamu terlalu ramah dan hangat untuk seorang laki-laki. Berbicara denganmu mengundang sampah hatiku untuk muntah keluar. Sesama perempuan dengan mudah menjadi pencahar rahasia dan gelisahku. Tapi tidak pernah laki-laki. Kamu menelanjangiku tanpa penawar rasa malu. Dan kendati aku ingin menempel kepadamu seperti benalu, mengisap balik rahasia dan gelisahmu, satu kali pun belum pernah aku menuai sesuatu.

Ketenanganmu, kendalimu atas intonasi dan gejolak emosi, membuatku merasa kurang adab. Kurang manusia.

Dari baris-baris kalimatku tadi, aku memilih sepotong yang terakhir. Kutuliskan pada kertas yang tadi dibagikan dan sekarang sudah harus dikumpulkan. Tercetak di sana dengan tulisan komputer: Apa pendapat Anda tentang Guruji? Lalu terteralah tulisan tanganku: Kurang manusia. Di pojok kanan bawah, tercetak kembali tulisan komputer: Tidak usah menuliskan identitas.

***

Seusai pelatihan Emotional Healing yang merupakan sesi terakhir pelatihan sepekan ini, Guruji dan anak buahnya membaca hasil angket tadi, dan sesuai prediksiku, mereka tahu itu aku.

Bisik-bisik dan tatapan tidak terima merajami dari kiri-kanan saat aku berjalan melewati murid-murid senior Guruji. Mereka, yang sudah duluan menjadi pelatih dan kelak mewarisi padepokan ini. Statusku masih trainee.  Dan sepertinya akan mentok sampai di situ.

Berbeda dengan mereka, Guruji menyambutku dengan tatapan hangat, bersahabat, penuh kasih. Sebagaimana ia menatapku bulan kemarin, kemarin lusa, atau lima menit yang lalu.

“Ari. Silakan masuk. Tolong pintunya ditutup,” katanya dengan ritme bicara seperti lagu ninabobo. Anggun, ia melepaskan kacamata minusnya, meletakkannya di meja.

Guruji, tidakkah kamu merasa aneh? Nama kita sama. Tapi kamu laki-laki, aku perempuan.

“Barangkali tujuan kamu baru tercapai kalau diberi kesempatan untuk bicara langsung,” lanjutnya lagi.

“Bicara tentang apa?”

“Tentang saya. Tentang kamu. Tentang kita.” Nadanya meninggi di ujung-ujung kata, seolah-olah ia bertanya. Begitulah caranya memindahkan bola. Membuatku menjadi pihak yang seolah-olah menginginkan pertemuan ini.

Comment