Profesi sebagai pawang hujan dengan tarif jutaan rupiah

MEDIAWARTA.COM – Tak banyak yang menggeluti profesi sebagai pawang hujan. Sebuah profesi yang diyakini oleh sebagian orang dapat menggagalkan hujan, namun itu semua tergantung dari keyakinan masing-masing mengingat hujan itu merupakan proses alam dan tentunya ada campur tangan Ilahi sebagai penentu turun atau tidaknya hujan.

Namun ada yang menarik dari kisah sang pawang hujan, dilansir dari vice.com. Di Indonesia jasa dukun, penyihir, hingga tabib dipercaya banyak orang, karena dianggap memiliki kemampuan supernatural. Dukun bisa melakukan banyak hal. Tapi tak ada yang sangat spesifik seperti pawang hujan. Para pawang hujan biasanya banjir order di akhir dan awal tahun. Sudah jadi rahasia umum bahwa panitia acara luar ruangan, mulai dari konser hingga outbond perusahaan biasanya menganggarkan biaya menyewa pawang hujan. Sepanjang Sidang Umum Interpol ke-85 digelar 7-10 November lalu di Bali, hujan tak sekalipun turun selama empat hari. Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian di depan semua peserta, membanggakan sosok yang bertanggung jawab di balik cerahnya cuaca Bali saat itu.

“Saya harap Anda bisa menikmati pertunjukan dan atmosfer bali. Ini adalah surga sesungguhnya,” ujar Tito pada semua peserta konferensi Interpol. “Tadi tiga jam lalu hujan di sini. Tapi supernatural (pawang hujan) sudah mengurus semuanya untuk Anda. Saya juga sudah memerintahkan Kapolda Bali untuk “mengurus” cuaca supaya aman.”

Begitulah. Jenderal polisi pun tetap butuh pawang hujan buat mengamankan hal-hal di luar kuasa manusia biasa.

Untuk seseorang yang menggeluti dunia klenik, Jati tak terlihat seperti seorang dukun kebanyakan. Awalnya, saya menyangka akan menemui sosok paranormal gondrong berselempang tas kecil berisi benda mistis—singkatnya seperti Ki Joko Bodo sebelum “tobat.”

Nyatanya, yang hadir di depan saya hanyalah lelaki 22 tahun biasa yang mengenakan t-shirt Cradle of Filth. Jati tak melakukan ritual mistis untuk mengontrol cuaca. Sebaliknya, dia memilih menggunakan kekuatan mental yang—menurut penjelasannya—mirip dengan metode cloudbusting atau cara-cara yang terdapat dalam kepercayaan pseudo-sains lainnya.

“Gue pure with mind power without any single mantra or doa,” kata Jati. Pandangannya mengarah ke langit. “Jadi tinggal visualisasikan hari ini harus cerah [dan] seharian cerah. Acara lancar.”

Berdasarkan pengakuan Jati, usianya baru 14 tahun ketika pertama kali mencoba mengendalikan cuaca. Dia sedang berada di Sirkuit Balap Sentul bersama seorang teman. Di hari yang terus diingatnya itu, Jati dijadwalkan ikut sebuah kompetisi balap. Dia lalu memusatkan pikirannya pada awan di langit sentul hari itu, memvisualisasikan cuaca yang cerah. Hari itu, hujan tak pernah turun.

Segera setelah menyadari kemampuannya, Jati mulai mantap menggeluti profesi pawang hujan. Bermacam acara sudah pernah dia kawal, dari mulai gelaran korporat, pesta pribadi, hingga acara perpisahan SMA. Untuk ongkos menghalau hujan per hari, Jati mematok tarif sebesar Rp7 juta. Tak jarang, Jati menerima selain uang. Dia pernah mendapat action figure Batman yang langka atau konsol Playstation baru sebagai imbalan jasanya.

Jati meyakini setiap orang sebetulnya bisa mengatur cuaca, selama mereka bisa berkonsentrasi. Salah satu temannya, Audi Adrianto, mengaku bisa “mengontrol semesta” setelah berlatih satu jam berbekal tips dari Jati. “Waktu itu Jati bilang ‘elo sebenarnya bisa'” kata Audi. “Awalnya gue engga percaya. Gue jadinya visualisasiin. Kita ngasih suggestion kita bisa geser awan. Pulang-pulang sekolah iseng, ternyata bisa.”

Audi penasaran jangan-jangan kekuatan pikiran ini bisa diaplikasikan kepada hal lain. Layaknya anak baru gede lainnya, Audi mempraktikannya pada hal yang sedang diidam-idamkanya saat itu: mendapatkan pacar.

“Gue malah nyoba ke cewe,” kata Audi sambil tergelak. “Sama aja seperti ngontrol awan, kamu tinggal visualisasiin ngobrol ke cewe. Gue udah sering nyoba kok.”

Jati mendadak menawarkan hal yang tak saya sangka-sangka: mengajari saya menjadi pawang hujan. Syaratnya saya harus bersedia menunggu sampai dia selesai menjalankan tugas hari itu di UI.

“Menurut gue, we are our own, we decide our faith and where we fit in with the universe” kata Jati.

“Gue engga ngambil resiko. Acaranya bisa kacau,” ungkapnya. “Karena kita harus break barrier karena limit kita itu, ada barrier yang subconscious yang bilang “you can’t do that.”

Prinsip utama memanipulasi cuaca, menurut Jati, adalah, hmmm, keyakinan mental. Manusia menurutnya sebetulnya memiliki potensi energi luar biasa dari dalam diri yang bisa mempengaruhi lingkungan. “Kita harus nyadar kalau kita punya potential, kalau kita bisa do the impossible. Elo engga boleh ragu, karena doubt itu tuh [potensi lo] jadi engga keluar, apa yang elo pengen jadi engga keluar.”

Kami berjalan beberapa saat memeriksa tempat Jati menaburkan garam. Dia menyebar garam di titik-titik penting yang mengelilingi venue festival. Jika memang mental yang paling penting, kenapa masih perlu menggunakan garam?

Bagi Jati, garam-garam ini punya fungsi tersendiri; membantunya membayangkan batas-batas ruang yang dikawal dari ancaman hujan. Beda pawang hujan, beda pula alat yang digunakan. Ada pawang menggunakan media yang kelihatan mistis seperti kepala ayam dan kertas-kertas rapalan. Yang lainnya, Jati salah satunya, menggunakan media yang lebih sederhana seperti garam dan mangkok bakso. Yang paling penting, menurutnya, adalah berkomunikasi dengan alam.

“Menurut gue, we are our own, we decide our faith and where we fit in with the universe” kata Jati. “Kita bisa ‘bertelekomunikasi’ dan ‘ngatur’ alam. Nature itu punya energi yang se-masif itu dan energi itu netral. Kita bisa manipulate biar bisa cooperate.”

Kalimat ini terucap ketika kami berdiri di pinggiran area festival. Mata kami menatap keriuhan festival. Pandangan Jati sejenak terpaku di langit yang pekat. Sejurus kemudian, pandangan yang sama mengamati panggung yang penuh cahaya. Dari tempat kami berdiri, jelas terdengar suara penonton bersama-sama menyanyikan lagu Mocca. Arina Ephipania Simangunsong, vokalis Mocca, menyenandungkan larik lagu legendaris “I Remember” dengan riang.

“I remember/ When we were dancing in the rain/ In that December.”

Awan gelap masih kokoh menggantung di langit. Karena sebab yang tak bisa saya jelaskan—mungkin karena ada Jati—hujan menolak turun sore itu.

Sumber : Vice.com
foto: Internet

Comment