Webinar “Aman Dan Nyaman Dalam Bermedia Sosial” Menyapa Warga Parepare

MEDIAWARTA.COM, PAREPARE – Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia bersama Siber Kreasi terus melanjutkan rangkaian program Literasi Digital ‘Indonesia Makin Cakap Digital’ di wilayah Sulawesi. Mengusung tema ‘Aman dan Nyaman Bermedia Sosial’, masyarakat di Kota Parepare diajak berpartisipasi dalam webinar literasi digital yang digelar pada awal Juni. 

Webinar ini diawali video sambutan dari presiden Joko Widodo yang menyampaikan pentingnya menyiapkan masyarakat agar lebih cakap digital. Presiden juga mengimbau seluruh masyarakat khususnya pengguna media sosial (medsos) untuk meminimalkan konten negatif dan membanjiri ruang digital dengan konten positif. “Kita dorong masyarakat agar mampu menciptakan lebih banyak menciptakan konten kreatif yang mendidik, menyejukkan, dan menyerukan perdamaian,” ujarnya. 

Presiden juga menyatakan bahwa literasi digital adalah kerja besar dan pemerintah tidak bisa kerja sendirian, perlu dukungan seluruh komponen bangsa agar semakin banyak yang melek digital. “Saya mengapresiasi 110 lembaga dan komunitas yang terlibat dalam program ini. Harapannya gerakan ini menggelinding dan terus membesar, melakukan kerja konkret di masyarakat agar makin cakap menggunakan internet untuk kegiatan kreatif dan edukatif,” tuturnya. 

Sementara itu, webinar kali ini menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya influencer dan Key Opinion Leader (KOL) Arham Kendari, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Makassar Dian Muhtadiah Hamna, praktisi media sosial Fajar Widi, dan Trainer GNI Makassar Muhammad Yunus. kegiatan webinar virtual ini pun diikuti oleh 99 peserta dari berbagai profesi. 

Mengawali paparan, Arham Kendari menekankan perihal etika bermedia sosial. Dia pun menyoroti banyaknya pengguna medsos yang kerap mengumbar status atau tulisan tanpa menyaringnya terlebih dulu. Padahal, tulisan atau konten digital yang kita unggah adalah cerminan diri kita. “Ini jadi acuan agar kita selalu berada dalam koridor. Jangan membuat konten tanpa batasan etika dan norma agama. Kita punya kontrol diri bagaimana kita menempatkan tulisan kita karena orang lain bisa menilai dari tulisan kita,” ujarnya. 

Arham pun mengaitkan dengan pentingnya pemahaman literasi digital. Manakala seseorang sudah menahbiskan diri sebagai pengguna medsos aktif, tentu yang bersangkutan tidak akan mengesampingkan pemahaman atas literasi digital ini. “Jadi, dia tidak akan asal-asalan menggunakan tulisan, menulis hal yang tidak sepantasnya, karena ini merupakan tindakan yang tdk patut. Maka, perluas wawasan dan literatur. Jangan malas membaca dan berinteraksi dengan orang lain. Lebih banyaklah belajar,” ujarnya. 

Penuturan Arham senada dengan pemaparan Dian Muhtadiah Hamna yang menyampaikan materi “Digital Ethics: Bebas namun Terbatas Berekspresi di Media Sosial”. Bahwasanya perkembangan internet dan media sosial menjadikan orang lebih mudah dan bebas berekspresi atau berpendapat. Sayangnya, acapkali kebablasan sehingga memicu konflik atau perselisihan. 

Dian mengutip data Southeast Asia Freedom of Expression Network yang melaporkan bahwa sejak 2014 hingga kini ada lebih dari 150-an laporan pidana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke kepolisian. “Dalam satu bulan minimal ada dua laporan ke kepolisian atau maksimal 15 laporan. Bahkan, sedikitnya ada 217 laporan yang menunjukkan serangan UU ITE terhadap kebebasan berpendapat,” paparnya. 

Dian juga menyoroti fenomena yang sedang tren di medsos, yaitu para selebgram berbagi konten yang mengumbar aib keluarga. “Harus dipikir dulu sebelum menulis atau mengunggah, layak nggak jadi konsumsi publik? Pikirkan efek jangka panjang. Jangan galau sedikit langsung tulis status,” ucapnya. 

Dian menambahkan, peranan masyarakat juga dibutuhkan dalam membendung konten negatif, misalnya dengan menggunakan tanda bendera (flagging) pada medsos, seperti Twitter, Facebook, dan Youtube untuk menandai konten-konten yang mengandung aktivitas tidak senonoh dan asusila. “Penandaan ini diperlukan untuk mengantisipasi dan meminimalisasi penggunaan medsos untuk aktivitas asusila dan tak senonoh,” katanya.   

Pembicara selanjutnya, Fajar Widi yang menyampaikan materi “Digital Culture: Penggunaan Bahasa dalam Bermedia Sosial” menggarisbawahi pentingnya  berbahasa dengan baik dan benar saat bermedia sosial. “Penggunaan bahasa yang baik dan benar ini dapat mencegah disinformasi dan agar isi pesan tersampaikan sesuai konteks. Selain itu, membangun masyarakat yang lebih dewasa dalam bermedia sosial,” ucapnya. 

Dia pun mengungkapkan risiko-risiko jika tidak berbahasa dengan baik dan benar. Mulai dari memicu konflik dengan seseorang, masalah pribadi yang menjadi konsumsi publik, menurunkan kredibilitas seseorang, hingga terjerat masalah hukum (UU ITE). “Saya rasa kasusnya sudah banyak. Ketika salah ngomong, ada yang tidak suka, lalu masuk ranah hukum. Jadi dampaknya luar biasa,” tuturnya. 

Sementara itu, pembicara terakhir Muhammad Yunus menyampaikan perihal ‘Digital Safety, Kenali dan Pahami Rekam Jejak di Era Digital’. Dia menjelaskan berbagai cara dalam menjaga jejak digital. Mulai dengan niat yang baik dan menjadikan media digital sebagai alat untuk menginspirasi atau memberi kabar baik. Dia menambahkan, medsos memang menjadi alat untuk bebas berpendapat, tapi harus tetap santun dan memenuhi etika. Jika ada kesalahan, jangan malu untuk mengoreksi dan segera minta maaf.

“Buatlah aturan atau panduan dalam bermedsos. Setiap platform medsos sebetulnya punya kebijakan untuk pengguna. Masalahnya, kita sebagai pengguna kadang tidak membaca kebijakan itu. Contohnya Facebook. Ketika kita mengunggah tulisan, foto atau video, itu artinya mereka berhak merekam dan mengakses data-data di akun medsos kita,” bebernya. 

Usai pemaparan materi oleh keempat narasumber, kegiatan Literasi Digital dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu moderator. Panitia juga menyiapkan hadiah bagi 10 penanya berupa uang elektronik masing-masing senilai Rp 100.000.

Salah seorang peserta, Aura Nurul, bertanya perihal cara membedakan informasi yang benar dan hoax, serta tindakan yang tepat untuk menghadapi kasus ujaran kebencian. Terkait hal ini, Dian Muhtadiah Hamna mengatakan salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melalui pelatihan cek fakta, di mana pesertanya akan diajarkan cara melihat dan mengecek berita dan gambar yang tergolong hoax atau bukan. 

“Upaya lainnya, bagi masyarakat awam, kalau menemukan kejanggalan-kejanggalan di medsos jangan langsung di-share. Biasanya paling rawan kalau menerima dari informasi yang diteruskan dari orang lain ke kita. Nah, cukup berhenti di kita dan jangan langsung menyebarkannya lagi,” ujarnya. 

Kegiatan Literasi Digital ‘Indonesia Makin Cakap Digital’ di Sulawesi diselenggarakan secara virtual mulai bulan Mei hingga Desember 2021 dengan berbagai konten menarik dan materi informatif yang pastinya disampaikan oleh para narasumber terpercaya. Bagi masyarakat yang ingin mengikuti sesi webinar selanjutnya, informasi bisa diakses melalui https://www.siberkreasi.id/ dan akun sosial media @Kemenkominfo dan @siberkreasi, serta @siberkreasisulawesi khusus untuk wilayah Sulawesi.

Comment