Fenomena Penculikan Jual Organ dan Kebebasan Informasi

Di tengah hebohnya trend terkini permainan anak latto-latto, tiba-tiba kita dikejutkan dengan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh dua orang remaja di Makassar, Sulawesi Selatan.

Mereka menculik dan membunuh seorang anak berusia 11 tahun, dengan tujuan untuk mengambil dan menjual organ tubuh korban.

Namun akhirnya, pelaku tidak berhasil mengambil organ tubuh korban yang ditarget, akan tetapi terlanjur telah memakan korban meninggal.

Dikutip dari detik.com, para terduga pelaku menjalankan aksinya, karena terobsesi dengan transaksi jual beli organ tubuh yang dilihat di salah satu situs jual beli di internet, dengan tawaran sejumlah uang yang tidak sedikit.

Situs jual beli yang dimaksud menurut informasi dari sejumlah pemberitaan, dapat diakses melalui Yandex, sebuah mesin pencari buatan Rusia. Para terduga pelaku, dapat mengakses dan mendapatkan informasi bahwa organ tubuh manusia ditawar hingga jutaan Dolar.

Muncul pertanyaan dari dalam diri, apakah seterbuka itu informasi yang ada di Indonesia? Apakah dengan bebasnya semua orang dapat mengakses situs yang dimaksud melalui Yandex? Atau diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus di bidang IT untuk dapat mengaksesnya?

Apa yang sedang terjadi, sebenarnya sedikit banyak, kecanggihan teknologi yang ada sekarang ikut memberikan kotribusi. Padahal selayaknya, dapat memberikan nilai positif ke masyarakat.

Determinisme teknologi menurut Thornstein Veblen (1857-1929) pada tahun 1920, menganggap teknologi merupakan suatu kesatuan independen yang bersifat otonom. Pada akhirnya akan memberikan pengaruh kepada masyarakat, sehingga akan menghasilkan suatu tipe masyarakat baru, yaitu masyarakat yang sudah beradaptasi mengikuti perkembangan yang dibawa oleh reka baru teknologi tersebut.

Donor organ tubuh manusia adalah fenomena global yang semakin pesat dipraktikkan, karena perkembangan teknologi kedokteran yang semakin maju.

Kebutuhan dan ketersediaan, menyebabkan praktik ini menjadi bagian dari kejahatan dan sisi gelap dari globalisasi.

Organ tubuh vital yang tersedia secara legal, belum cukup untuk memenuhi permintaan. Ini yang menyebabkan munculnya bisnis-bisnis gelap, seperti jual beli organ manusia kepada si kaya, yang bersedia membayar berapa pun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Kehadiran internet, memberikan manusia kemudahan dalam berkomunikasi, termasuk dalam hal jual beli. Baik melalui situs yang resmi maupun bersifat ilegal.

Bagaimana aturan hukum yang menjerat perbuatan pidana tersebut? Menjawab itu, larangan penjualan organ tubuh manusia sebenarnya tidak diatur dalam KUHP, tetapi dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 64 ayat (3) UU 36/2009, yang menyebutkan bahwa organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pelaku penjualan organ dan/atau jaringan tubuh ini diancam pidana sebagaimana diatur Pasal 192 UU 36/2009. Dalam pasal tersebut dinyatakan, setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Dengan demikian, jika mengikuti pembagian pidana umum dan khusus menurut ahli hukum Andi Hamzah, maka penjualan organ tubuh manusia termasuk tindak pidana khusus. Itu karena KUHP tidak mengatur mengenai tindak pidana penjualan organ manusia dimaksud.

Kementerian Komunikasi dan Informatika pun telah memutus akses tujuh situs dan lima grup media sosial, yang memuat konten jual beli organ tubuh manusia, Kamis (12/01/2023) lalu.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel A. Pangerapan menyatakan, pemutusan akses itu dilakukan, sesuai permintaan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Negara RI.

 

 

Comment