Siklus Negeri Gemah Ripah

MEDIAWARTA,-Coretan ini tentang negeri kita, negeri gemah ripah, yang saya sari dari Kultum seorang muballigh kondang kampus, Prof. Barsihannoor. Beliau mengajak jamaah berefleksi tentang pentingnya bersyukur menjadi orang Indonesia. Prof. Barsih menggambarkan kekayaan alam dan keindahan Indonesia, ibarat kehidupan surga yang digambarkan oleh kitab suci.

Prof Barsih lebih jauh mengulas musim di Indonesia yang sangat patut disyukuri. Pembagian waktu siang dan malam yang seimbang, sehingga puasa kita juga berlangsung secara seimbang. Prof. Barsih mengugah kita, kalau mau merasakan derita panjangnya puasa, silakan pergi berpuasa ke negara Barat pada musim panas, atau ke negara-negara skandinavia, puasanya bisa berlangsung sampai 20 jam. Cuaca negara kita juga sangat bersahabat, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.

Bagi yang sudah berhaji, mungkin sudah pernah merasakan musim panas di tanah Arab, betapa panasnya, dan tidak mungkin bisa tenang tanpa pendingin di kamar. Dan bagi dosen yang pernah belajar di negara Barat, misalnya di Canada, betapa dinginnya di musim dingin, dan tidak membayangkan bisa hidup tanpa pemanas atau perapian. Di Indonesia, menurut Prof. Barsih orang bisa istirahat di rumah setiap saat tanpa pendingin atau tanpa pemanas.

Prof. Barsih melanjutkan dengan mengulas sifat toleransi masyarakat yang tidak didapat dicontoh oleh negara lain. Misalnya, pada aspek keagamaan, hari pertama puasa bisa berbeda, hari raya idul fitri juga sudah biasa berbeda. Bahkan ada kelompok yang lebih berbeda lagi hari lebarannya tapi tetap mendapatkan tempat dalam masyarakat.

Negara juga sangat demokratis dalam menyikapi keberagamaan masyarakat. Prof. Barsih contohkan, setiap acara keagamaan, masyarakat menutup jalan, misalnya acara ta’ziah atau nikahan. Masyarakat kita pun menurut Prof. Barsih, sudah terbiasa berdamai dengan kemacetan apakah jalan ditutup karena hajatan, demonstrasi, ada gerombolan sapi yang melintas atau ikut menggunakan jalanan.

Dalam dakwah juga terlihat betapa bebasnya pendakwah melancarkan ceramahnya tanpa harus dikontrol oleh pemerintah, situasi yang sangat berbeda pada beberapa negara Muslim tetangga. Bahkan pada khutbah jumat, khatib sangat lazim tidak membaca konsep, pemandangan yang nyaris tidak ditemukan pada banyak negara Muslim. Jadi ada kebebasan berekspresi, kebabasan mengurai dalil, kebabasan menyampaikan seruan, bahkan kebebasan menafsir ajaran.

Pertanyaan reflektif Prof. Barsih, mengapa masyarakat kita tidak maju dengan segala kemudahan hidup? Panjang ulasan beliau. Tapi saya hanya meyingkatnya. Kemudahan itu bisa melahirkan kesusahan. Orang yang terbiasa mudah, sering kurang antisipatif saat merasakan kesusahan, tapi orang yang terbiasa susah tidak butuh persiapan untuk meniti hidup yang lebih mudah. Orang yang terbiasa merasakan kemudahan, akan berdampak pada rendahnya mentalitas daya juang.

Saya menutup sambil mengajak mengikuti alur cerita atau siklus hidup berikut ini. Kakek kita dahulu berjalan 10 kilometer ke tempat kerja. Ayah kita berjalan 5 kilometer ke tempat kerja. Kita waktu kecil mulai naik sepeda. Anak kita sudah naik motor saat sekolah. Cucu kita sudah naik mobil. Kemungkinan yang akan terjadi, cicit kita kembali akan berjalan kaki. Siklus ini terjadi karena masa yang susah melahirkan orang kuat, orang kuat melahirkan masa yang mudah, masa yang mudah melahirkan orang lemah, dan orang lemah melahirkan masa yang susah.

Comment