Apa yang kita kategorikan hari ini sebagai sesuatu yang ‘sophisticated’, bisa jadi besok telah terklasifikasi sebagai ‘konvensional’. Perubahan wujud sesuatu karena sentuhan teknologi yang makin mutakhir, bisa berlangsung cepat, bahkan sebelum kita sempat menyadari bahwa itu semua telah berubah.
Beberapa tahun yang lalu, setiap kali saya ke Paccerakkang, saya masih sempat melihat “bendi”, alat transportasi yang menggunakan kuda sebagai penggeraknya, atau yang lebih familiar kita sebut “dokar”. Hari ini bendi tak terlihat lagi. Beberapa tahun yang lalu, di sekitar kita, masih melintas sejumlah becak, hari ini tak satupun yang kita temui.
Bendi, becak sebagai alat transportasi umum telah digantikan oleh “mesin” yang bernama kendaraan, baik itu motor atau mobil. Motor menjelma jadi “ojek” dan “bentor”, mobil berwujud “pete-pete” atau angkot dan “taksi”. Mengapa bendi dan becak tergantikan dengan ‘model’ transportasi baru? Jawabannya sederhana, manusia dari waktu ke waktu selalu ingin cepat, selalu berhasrat menaklukkan waktu.
Tidak cukup sampai disitu, selain ingin cepat, kita juga rindu dengan transportasi yang murah dan mudah. Cepat, murah dan mudah; kira-kira seperti itu semboyan kita. Dan olehnya, dalam mencari jenis angkutan yang sesuai dengan semboyan itu, biasanya kita memilih-milih atau mungkin tawar menawar, terutama untuk jenis angkutan ojek dan bentor. “Berapa kalau kesana?”. Bila cocok harga, kita akan naik dan jika belum ketemu harga yang pas, kita beralih ke pengemudi lainnya.
Mudah itu bisa menjelma dalam kondisi bisa didapatkan atau ditemui dimana saja, tak perlu jauh-jauh mencarinya. Makanya tak heran kalau pangkalan ojek ada dimana-mana; begitu pula dengan bentor. Trayek angkot atau pete-pete juga seperti itu, diupayakan agar bisa menjangkau seluruh akses penumpang, biar tak menyulitkan mereka mencari dan menunggu. Apalagi taksi, hanya dengan memencet tombol telpon atau handphone untuk menghubungi operator, maka tak lama kemudian, taxi sudah membunyikan klaksonnya di depan rumah kita.
Cukupkah dengan pangkalan untuk memudahkan penumpang mengakses? Atau cukupkah dengan menghubungi operator, penumpang bisa terpuaskan. Dalam beberapa contoh, ternyata “tidak”. Ada kalanya, calon penumpang tak mau repot, baik untuk ke pangkalan ataupun menghubungi operator. “Handphone” atau gadget biasanya jadi pilihan. Calon penumpang akan mencari tahu siapa gerangan yang bisa dihubungi agar bisa terlayani dengan cepat dan memuaskan. “Berapa nomor handphone ta, biar saya save. Nanti kalau saya butuh, ku hubungi ki”. Atau sebaliknya, peyedia jasa angkutan dalam hal ini pengemudi biasanya menawarkan hal yang sama, “siapa tau mau ki lagi diantar, ini nomor handphone ku, kita hubungi saya saja”.
Begitulah jaman sekarang, semua kita mau hidup serba cepat dan mudah. Tak ada yang mau terlambat, terutama hanya karena menunggu. Jangankan untuk ‘bertransportasi umum’, sekedar belanja untuk kebutuhan sehari-hari atau untuk urusan dapur saja, banyak kalangan yang sudah tak mau repot. Tak lagi mau ‘ngantri’ di tempat pembayaran apalagi harus ke pasar atau ke pusat-pusat perbelanjaan. Mereka lebih memilih mengoptimalkan fungsi handphone atau gadget, berselancar untuk mencari ‘menu’ apa yang dibutuhkan.
Apalagi jika itu menyangkut ‘kebutuhan sekunder’ seperti misalnya pakaian atau assesoris, kecenderungan pilihan lebih diarahkan pada ‘berpasar on line’ yakni bertransaksi lewat dunia maya. Selain karena barang yang ditawarkan rata-rata tidak awam atau tidak pasaran, harga lebih kompromi, juga sekali lagi tidak membuat costumer jadi repot. Memilih dan bertransaksi bisa dimana saja, kapan saja dan dalam situasi apa saja.
Naluri ingin mudah, murah dan cepat itulah yang kira-kira ‘disadap’ oleh para innovator dalam mengkreasi gaya usaha mereka. Umumnya memanfaatkan teknologi, terutama teknologi informasi sebagai wadah untuk ‘menggelar dagangan’. Mereka sangat piawai ‘mengganggu’ mata costumer, baik dari visualisasi maupun narasi barang yang ditawarkan.
Hal lain yang istimewa dari pola transaksi seperti ini, baik costumer maupun penyedia jasa tak lagi mempersoalkan rentang jarak. Costumer mengklik dan mentransfer di Makassar, penyedia jasa meng-oke-kan dan mengirim barang dari Medan. Artinya, dalam pasar dunia maya, sama sekali tiada batas jarak. Yang bisa membatasi keduanya dalam bertransaksi hanya “trust” saja. Jika barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan, kostumer akan menaruh kepercayaan dan tidak tertutup kemungkinan akan memesan lagi, tetapi jika layangannya mengecewakan, sang penyedia jasa akan di black list.
Begitulah perubahan dengan segala dinamikanya. ‘Unpredictable’, susah diprediksi meski gejalanya bisa terbaca. Apa yang kita rasakan sebagai sesuatu yang “wah” hari ini, besok akan terasa biasa-biasa. Telpon seluler dan SMS yang amat dibanggakan beberapa tahun lalu sebagai cara komunikasi baru yang canggih, hari ini, pelan-pelan tergantikan dengan banyak fitur-fitur baru yang lebih menjanjikan, seperti WA, Line, Imo, Telegram dan sebagainya. Orang tak lagi mau ‘sekedar’ berkomunikasi. Orang mau berkomunikasi sekaligus saling menghibur, tak mau sekedar mengetik dan membaca huruf-huruf. Mereka ingin disertakan ‘gambar diam dan bergerak’.
Jadi menurut saya, bukan saatnya mempertentangkan antara “konvensional dan sophisticated” karena beda keduanya sangat tipis, tak berjarak. Selang waktu sophisticated ke konvensional, tidak lagi membutuhkan waktu yang lama. Kesiapan psikologi mengantisipasi perubahan dan regulasi saja yang perlu dihadirkan agar masyarakat, baik kostumer maupun penyedia jasa tidak gamang dan dilematis dalam menghadapi perubahan. Semua kita harus siap menghadapi perubahan, sebagaima orang-orang bijak telah mengingatkan kita, “tiada yang abadi selain perubahan”.
Makassar, 25 Maret 2016
Salam #akumemilihsetia
Comment