PHK Massal di Sektor Perhotelan, Industri Pariwisata Sulsel Terancam Gagal

MEDIAWARTA,MAKASSAR,-Industri pariwisata di Sulawesi Selatan (Sulsel) semakin terhimpit, akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.

Sejumlah pelaku usaha mengeluhkan dampaknya yang menyebabkan sektor ini lesu, terutama bisnis perhotelan, yang mengalami penurunan tingkat hunian secara drastis.

Sejumlah organisasi industri pariwisata seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Sulsel, Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Sulsel, dan Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (ASITA) Sulsel, mengungkapkan curahan hatinya, sekaligus mendesak pemerintah segera mencairkan sisa anggaran, agar sektor ini bisa bertahan.

Ketua PHRI Sulsel, Anggiat Sinaga, mengungkapkan, tingkat okupansi hotel di Sulsel saat ini hanya sekitar 20 persen, angka yang jauh dari kata ideal.

“Kalau di bawah 20 persen, okupansi sudah pasti kapal oleng,” ujarnya dalam konferensi pers industri pariwisata di Hotel Claro Makassar, Selasa (25/3/2025).

Akibat kondisi ini, sejumlah hotel terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 30 persen.

Jika situasi ini terus berlanjut, Anggiat khawatir, gelombang PHK di sektor perhotelan akan semakin besar.

“Kami tidak lagi berbicara tentang dampak efisiensi anggaran, tetapi meminta 50 persen anggaran yang tersisa segera dicairkan, agar ekonomi bisa bergerak,” tegasnya.

CEO Phinisi Hospitality Indonesia menambahkan, sektor perhotelan kini kehilangan pemasukan utama, dari perjalanan dinas dan kunjungan kerja, yang sebelumnya menjadi andalan.

Hotel-hotel di Sulsel sekarang hanya mengandalkan acara sosial, yang jumlahnya sangat terbatas,” ujarnya.

Mewakili IHGMA Sulsel, Darwinsyah Sandolong mengungkapkan, daya beli masyarakat sangat rendah, sehingga meskipun hotel banting harga, dampaknya tetap tidak signifikan.

“Kami harus berpikir keras bagaimana bertahan hidup,” katanya.

Ketua GIPI Sulsel, Suhardi, menambahkan, beberapa pelaku usaha bahkan sudah menjual aset mereka untuk bertahan.

“Kemarin saya lihat sudah ada yang menjual busnya. Semoga pemerintah lebih memperhatikan kondisi ini,” ungkapnya.

Sementara itu, perwakilan ASITA Sulsel, Abdullah Bazergan, menilai bahwa dampak efisiensi anggaran sangat luas, tidak hanya memukul sektor pariwisata, tetapi juga berpotensi meningkatkan angka kriminalitas dan menghambat investasi di Sulsel.

“Semua terdampak, termasuk travel agent, hotel, dan sebagainya. Kami meminta agar anggaran segera direalisasikan,” pungkasnya.

Para pelaku usaha berharap, pemerintah segera mengambil langkah konkret, untuk menyelamatkan industri pariwisata di Sulsel.

Jika tidak, dikhawatirkan dampak lebih besar akan terjadi, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan lesunya perekonomian daerah.

Comment