MEDIAWARTA, MAKASSAR – Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia(DPP AAI) bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) mengadakan kegiatan webinar bertajuk “Sosialisasi UU RI No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)” pada Jumat, 25 November 2022. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring pada pukul 15.00-16.30 WIB melalui Zoom Webinar dan dihadiri oleh 135 peserta.
Sosialisasi ini dilakukan kepada masyarakat dari berbagai elemen; baik pemangku kepentingan, mahasiswa akademisi, dan praktisi dengan tujuan agar penerapan dari UU a quo dapat berjalan dengan lebih maksimal. Selain itu, kegiatan ini juga diharapkan dapat mengenalkan peran BPHN Kemenkumham RI serta memperluas pandangan peserta mengenai kondisi perempuan dan anak beserta tantangan dan perlindungan hukum yang diberikan kepada mereka.
Narasumber yang dihadirkan untuk mengisi sosialisasi ini, yaitu Nurhayati, selaku Penyuluh hukum ahli madya pada pusat penyuluhan dan bantuan hukum BPHN Kemenkumham RI dan moderator adalah Muniar Sitanggang, selaku Ketua Bidang Perempuan, perlindungan Anak dan Disabilitas DPP AAI.
Sebelum masuk ke sesi pemberian materi, agenda pertama kegiatan adalah pemberian sambutan oleh Arman Hanis, selaku Ketua Umum DPP AAI. Dalam sambutannya, Arman Hanis menyatakan bahwa kegiatan ini sangat bagus dan memberi manfaat bagi masyarakat. DPP AAI akan selalu siap bersinergi dengan pemerintah guna mengsosialisasikan peraturan peraturan yang ada. Sebab, sebagai organisasi Advokat, AAI mempunyai peran membantu masyarakat dan membangun hukum di Indonesia.
Nurhayati sebagai narasumber membawa materi dengan judul “Sosialisasi UU RI No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS”. Secara garis besar, Nurhayati menjelaskan mengenai latar belakang UU TPKS. Nurhayati menerangkan terkait data kasus kekerasan seksual, tujuan UU TPKS, tindak Pidana kekerasan seksual, pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi dan pemaksaan perkawinan, penyiksaan dan eksploitasi seksual, perbudakan dan kekerasan seksual berbasis elektronik, pidana tambahan, TPKS korporasi, penyidikan penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, alat bukti, pendampingan korban dan saksi, restitusi, tidak adanya restorasi justice dalam TPKS, pelaporan dan perlindungan korban, pencegahan, kordinasi dan pemantauan, partisipasi masyarakat dan keluarga.
Comment