MEDIAWARTA.COM, MAKASSAR – Pada 2012, dalam sebuah penelitian yang pernah dilakukan komunitas fotografi di Makassar, Boyaboya, foto penelitian mengungkap satu sampel tokoh atau keluarga Tionghoa Makassar yang telah berasimilasi dengan penduduk setempat. Keluarga ini bermarga Tjui, dan tinggal di Jalan Bali, Makassar, yang kini telah dibongkar untuk mendirikan bangunan baru.
Dari catatan, ihwal kedatangan nenek buyut mereka ke Nusantara (Makassar) adalah sekitar 1910, langsung dari Tiongkok. Kemudian keluarga ini beranak-pinak, dan generasi ketiga telah melakukan kawin campur dengan penduduk asli Bugis-Makassar. Namun uniknya, meski sebagian telah memeluk agama Islam, tetapi mereka tetap menjaga tradisi leluhur mereka yang berasal dari Tiongkok seperti melakukan ritual Qimming atau Ceng Beng (ziarah kubur), Imlek dan Cap Go Meh, dan beberapa ritual lainnya. Bahkan mereka masih menggunakan bahasa Kanton (salah satu bahasa suku di Tiongkok) sebagai bahasa pengantar di rumah.
Keluarga besar Tjui ini memang sudah menyebar, ada yang tinggal di Kalimantan, Papua, dan Maluku untuk mengadu nasib karena kehidupan yang papa pada saat itu. Di antara mereka memang ada yang berhasil dan menjadi pengusaha di ranah rantau, namun juga ada yang masih prasejahtera.
Rangkuman penelitian Boyaboya tersebut, berhasil mengangkat kehidupan marginal keluarga Tjui di Makassar, di mana mereka juga pernah merasakan makan nasi aking, bekerja sebagai buruh di pabrik es balok, dan binatu keliling pada Orde Lama. Itulah Tiongkok peranakan yang kerap disebut Hua Ren.
Comment